Pengantar: Hari ini, Senin, 21 April 2014, Ketua BPK yang pensiun hari ini, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Teramat banyak berita miring selama Hadi Purnomo menjabat Dirjen Pajak. Herannya, mengapa Hadi Purnomo yang rekam jejaknya dipertanyakan bisa lolos sebagai calon anggota BPK dan akhirnya menjadi ketua lembaga tinggi Negara yang sangat penting itu dalam mengawal keuangan Negara. Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, Senin, 16 Januari 2006, halaman 1 dan 15. Kala itu Hadi Purnomo menjabat sebagai Dirjen Pajak. Judul aslinya: "Skandal Pajak."
***
Selama empat hari berturut-turut sejak Kamis minggu lalu, Kompas menurunkan berita tentang korupsi pajak. Berita yang selalu ditempatkan di halaman muka ini memaparkan betapa praktik pembobolan uang Negara telah berlangsung belasan tahun, sehingga bisa dikatakan sudah menjadi mata pencarian sehari-hari dari sejumlah kalangan: aparat pajak dan bea cukai, pengelola pelabuhan, pengusaha peti kemas, agen pelayaran asing yang menerbitkan dokumen atau bill of lading, produsen atau pengusaha ekspor, pengusaha ritel, makelar jasa kepabeanan, makelar agen pelayaran, dan makelar faktur.
Sekalipun para pelaku yang terlibat cukup banyak, namun modus operandinya tergolong sederhana. Yang menjadi sasaran ialah dana pengembalian atau restitusi pajak, yaitu dana atas pajak pertambahan nilai (PPN) yang telah dikeluarkan pengusaha saat mengimpor bahan baku untuk produk-produk yang diekspor. Manipulasi terjadi di dua lapisan. Pertama, bukti-bukti pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan baku yang diimpor sebagai dasar untuk mengklaim restutusi. Namun, pengembalian atau restitusi baru bisa dibayarkan oleh petugas pajak jika pengusaha mengajukan sejumlah dokumen yang membuktikan bahwa barang-barang yang menggunakan bahan baku impor yang sudah membayar PPN tersebut betul-betul telah dikapalkan untuk tujuan ekspor. Maka titik rawan kedua ialah pada proses mengekspor.
Skandal pajak yang terbongkar minggu lalu tampaknya lebih banyak disebabkan oleh kebobolan di lapisan kedua. Yang sangat krusial pada proses ini ialah penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) oleh petugas Bea dan Cukai. Untuk memuluskan penerbitan PEB, maka direkayasalah sejumlah dokumen yang membuktikan sudah ada barang yang dikapalkan untuk diekspor. Pihak-pihak yang memuluskan proses ini adalah para makelar dolumen, pengusaha peti kemas, petugas pelabuhan, dan agen pelayaran. Mereka membuat dokumen-dokumen fiktif, karena sebetulnya tak ada barang yang diekspor.
***
Pengungkapan kasus ekspor fiktif sebenarnya sudah terjadi berulang kali dan melibatkan pengusaha-pengusaha besar. Sekalipun sejauh ini yang lebih sering terungkap ialah di industri tekstil dan pakaian jadi, tak tertutup kemungkinan bahwa penyelewengan terjadi pula dengan menggunakan obyek produk-produk ekspor andalan lainnya yang cukup banyak menggunakan bahan baku impor.
Kita sangat berharap pengungkapan kasus restitusi PPN yang sudah mengakar dalam ini menjadi titik awal untuk membersihkan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kurang bukti apa lagi untuk meyakinkan bahwa kedua lembaga pemerintah yang sangat vital ini harus menjadi prioritas untuk membersihkan benalu-benalu yang membuat perekonomian “lesu darah” berkepanjangan. Kedua instansi di bawah Departemen Keuangan ini menjadi ujung tombak penerimaan negara. Potensi kebocoran sudah sedemikian kentaranya. Tidak terlalu sulit untuk menghitung potensi penerimaan negara yang tercecer dan diselewengkan.
Teramat naif untuk percaya pada pernyataan-pernyataan petinggi di kedua direktorat jenderal yang berkali-kali dinobatkan sebagai instansi terkorup, bahwa skandal-skandal yang terungkap selama ini hanyalah sebatas kasus. Mereka juga mengklaim bahwa komputerisasi pada sistem informasi yang mereka gunakan hampir pasti tak lagi memungkinkan terjadinya manipulasi.
Skandal restitusi pajak semakin menambah keyakinan kita betapa lingkaran korupsi di instansi perpajakan dan bea cukai sudah sedemikian sangat berurat-berakar. Sistem pengawasan internal lumpuh bukan karena modus operandi yang canggih sehingga sulit terlacak, melainkan karena praktik-praktik kotor sudah dipandang sebagai kelaziman. Ratusan temuan Inspektoral Jenderal Departemen Keuangan tak digubris, beberapa di antaranya sengaja di-peti-es-kan, terutama yang dipandang bisa membongkar kebusukan hingga ke pucuk pimpinan.
Praktik-praktik kotor yang selama ini berlangsung di hampir semua jenjang justru menjadi salah satu sumber dana untuk mempertahankan cengkeraman pengaruh dari oknum-oknum yang berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan mereka di dalam “zona kenyamanan” yang mereka nikmati selama ini. Untuk membuktikannya sangat mudah. Teliti saja kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai. Tak sedikit dari kegiatan-kegiatan kedua instansi ini yang bersifat nonbugeter atau setidaknya dibiayai juga dari sumber-sumber di luar APBN, seperti kegiatan sosialisasi dan kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial semisal upacara pemberian NPWP ke-10 juta di Istana Negara akhir tahun lalu.