[caption caption="Bandara Ngurah Rai/bandara.id"][/caption]
Setelah era otonomi daerah, bermunculan bandara baru di seantero negeri. Indonesia memiliki 683 bandara, terbanyak kesepuluh di dunia. Paling banyak adalah Amerika Serikat dengan 15.095 bandara. Lihat Negara terbanyak memiliki bandara.
Dua Badan Usaha Milik Negara (BMUN) yang mengelola Bandara tentu saja menghadapi keterbatasan dalam megembangkan bandara. PT Angkasa Pura I Persero hanya mengelola 13 bandara di kawasan Timur Indonesia dan PT Angkasa Pura II Persero hanya mengelola 9 bandara di kawasan Barat Indonesia.
Cukup banyak pemerintah daerah menggelontorkan anggaran untuk membangun bandara, misalnya pemerintah Kabupaten Berau (lihat Bandara Kalimarau) dan pemerintah Kabupaten Banyuwangi (lihat Bandara Blimbingsari). Kucuran dana juga diperoleh dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Bandara Blimbingsari dikelola oleh Satuan Kerja (Satker) Bandar Udara di bawah naungan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, sedangkan Bandara Kalimarau dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub.
Peranan pemerintah pusat sejatinya mendorong pertumbuhan angkutan udara antara lain dengan membangun dan mengembangkan bandara. Dana bisa dari perpaduan antara dana pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Pengelolaan sementara bisa dilakukan oleh UPT atau Satker Kemenhub. Selanjutnya diserahkan ke BUMN yang mengelola dan mengusahakan bandara. Jumlah BUMN pengelola bandara bisa ditambah sesuai kebutuhan. Bisa juga dikelola swasta atau kerja sama swasta dan BUMN.
Namun ada nada ketidakpercayaan Menteri Perhubungan terhadap BUMN pengelola bandara (lihat Menhub: Angkasa Pura tak Becus Kelola Bandara). Bukannya berkoordinasi dengan Kementerian BUMN untuk membenahi BUMN pengelola bandara, Menteri Perhubungan bersikukuh ingin terus mengelola beberapa bandara yang sudah di bawah kelolaannya (lihat Bandara Komodo dan Bandara Cinglong tak diserahkan ke swasta atau BUMN). Menteri Perhubungan juga akan mendirikan badan layanan umum (BLU) untuk bandara-bandara yang dikelola Kemenhub.
Ada juga rencana Kemenhub untuk mengambil alih bandara-bandara yang merugi (Lihat Kemenhub siap kelola bandara merugi ). Jika ditelaah dengan seksama, ada beberapa kendala yang menyebabkan suatu bandara sulit berkembang. Munueut pengelola, Bandara El Tari di Kupang, Nusa Tenggara Timur sulit dikembangkan karena bersatu dengan lahan milik TNI Angkatan Udara. Beberapa bandara mengalami masalah serupa.
Muncul kesan kuat penyelesaian masalah pengembangan bandara adalah dengan menyerahkan pengelolaan bandara kepada Kemenhub, entah itu bentuknya UPT atau Satker atau BLU. Kemenhublah yang paling superior.
Pemerintah sejatinya tidak mengelola langsung bandara. Nanti muncul kembali raja-raja kecil di berbagai kementerian. Kalau keenakan, nanti kebablasan, ingin terus dalam kepitannya.
Pemerintah boleh saja menjadi pepolor atau berinisiatif membangun bandara baru. Setelah bisa berdiri tegak sebaiknya dilelang atau diserahkan ke BUMN. Dananya digunakan untuk membangun bandara baru. Begitu seterusnya.
Pemerintah pusat kembali ke tugas utamanya menjamin keselamatan penerbangan, membuat standar pelayanan bandara, mengembangkan sistem navigasi penerbangan udara, standar pelayanan perusahaan penerbangan, menyusun sistem transportasi nasional, dan perlindungan konsumen.