Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sesat Pikir Kebijakan Makroekonomi: Makin tak Menentu

21 Januari 2014   22:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertumbuhan ekonomi sudah melambat selama lima triwulan berturut-turut. Pertumbuhan investasi—yang diukur dengan pembentukan modal tetap bruto—turun jauh lebih tajam, dari 12,3 persen pada triwulan II-2012 menjadi hanya 4,5 persen pada triwulan III-2013. Komponen investasi menyumbang sekitar sepertiga dalam produk domestik bruto, terbesar kedua setelah konsumsi rumah tangga yang menyumbang sekitar 54 persen. Sebelum terjadi penurunan, perekonomian Indonesia boleh dikatakan terbang dengan dua sayap, investasi dan konsumsi rumah tangga. Namun, belakangan hanya satu sayap saja yang masih prima, yakni konsumsi rumah tangga. Setelah melemah selama tiga triwulan berturut-turut dari 5,7 persen pada triwulan III-2012 menjadi 5,1 persen pada triwulan II-2013, pertumbuhan konsumsi rumah tangga naik kembali menjadi 5,5 persen pada triwulan III-2013. Pemerintah gundah dengan kecenderungan konsumsi rumah tangga yang masih marak ini, karena khawatir peningkatan konsumsi masyarakat bakal mendorong peningkatan impor sehingga menekan akun semasa (current account), yang pada gilirannya menekan nilai tukar rupiah. Padahal, pertumbuhan yang meningkat pada triwulan III-2013 itu karena ada lebaran. Kalau dibandingkan dengan masa lebaran tahun sebelumnya (triwulan III-20012), pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan III-2013 lebih rendah. Bank Indonesia dan pemerintah bahu membahu meredam laju pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia kembali menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin pada Oktober 2013. Masih dirasa kurang, Bank Indonesia memperketat penyaluran kredit dengan menurunkan target pertumbuhan kredit 15-17 persen untuk tahun 2014, relatif jauh lebih rendah dari pertumbuhan kredit Januari-November 2013 sebesar 21,9 persen dan pertumbuhan kredit bulan September sebesar 23 persen. Bank Indonesia akan memonitor ketat bank-bank yang pertumbuhan kreditnya di atas target. Sebelumnya Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan meredam penyaluran kredit sepeda motor dan properti dengan menaikkan Loan to Value (LTV) ratio masing-masing 75 persen dan 70 persen. Bukankah produksi sepeda motor dan properti tergolong paling banyak menggunakan komponen lokal? Mengapa pemerintah justru mendorong industri otomotif yang jauh lebih boros devisa?  Mengapa kebijakan LTV tidak diberlakukan untuk kredit mobil? Bukankah orang membeli sepeda motor kebanyakan untuk kegiatan produktif, setidaknya sebagai alat transpor untuk bekerja dan berusaha karena transportasi publik yang amat buruk dan lebih mahal. Rakyat kelas menengah-bawah tidak punya pilihan kecuali membeli sepeda motor. Mengapa justru mereka yang dipersulit? Apa maunya BI dan pemerintah dengan mempersulit kredit sehingga menekan investasi domestik, seraya gencar mengundang investasi asing, misalnya dengan merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) agar asing bisa merambah ke berbagai sektor strategis sekalipun. Padahal, pertumbuhan investasi asing langsung tahun 2013 sudah naik cukup tinggi,  22,4 persen. Kalau pemerintah meyakini sumber utama kemerosotan nilai tukar rupiah adalah pemburukan defisit akun semasa (current account) yang disebabkan oleh rongrongan impor minyak dan kemerosotan surplus perdagangan nonmigas, mengapa tidak langsung saja melakukan terapi kejut ke akar masalah itu. Peluang yang sangat terbuka luas untuk memperbaiki defisit akun semasa adalah peningkatan ekspor nonmigas. Sejauh ini tidak ada langkah terukur dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan ekspor nonmigas. Pertumbuhan volume perdagangan dunia tahun ini diperkirakan 5 persen. Setidaknya secara nominal nilai ekspor kita bias naik dua kali lipatnya. Kementerian Perdagangan hanya menargetkan kenaikan nilai ekspor 5 persen pada tahun 2014. Yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah yang sudah ada di depan mata: memotong defisit perdagangan dengan China yang naik terus dan sudah mencapai 8,3 miliar dollar AS selama Januari-November 2013. Penetrasi ke pasar China yang amat besar tak bias ditawar-tawar lagi. Kalau Negara Asean lain menikmati surplus perdagangan dengan China, mengapa kita tak bisa? Ada seribu satu jalan lain untuk meningkatkan ekspor. Kalau sang menteri lebih sibuk dengan program pencitraan untuk diri sendiri, ya, akhirnya solusi yang kita lihat adalah yang mengada-ada.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun