Sangat sedikit negara yang dapat mencapai kemajuan ekonomi dan menyejahterakan rakyatnya tanpa ditopang pertumbuhan industri yang berkelanjutan. Yang sedikit itu pada umumnya adalah negara-negara kecil yang penduduknya sedikit.
Negara-negara yang penduduknya besar seperti Indonesia memiliki pijakan lebih kuat untuk memajukan sektor idustri manufaktur karena faktor keekonomian skala (economies of scale). Setelah melalui tahapan awal pembangunan lewat penguatan sektor pertanian yang merupakan tumpuan hidup mayoritas penduduk, sektor industri manufaktur lambat laun berkembang hingga peranannya dalam produk domestik bruto (PDB) mencapai titik optimal. Berdasarkan pengalaman negara-negara yang telah berhasil menapaki industrialisasi, titik optimal terjadi ketika peranan sektor industri manufaktur dalam PDB mencapai sekitar 35 persen. Setelah itu, tatkala pendapatan perkapita sudah tinggi dan produktivitas pun tinggi, sektor industri manufaktur tumbuh melambat dan peranannya dalam PDB menurun, digantikan oleh sektor jasa.
Indonesia pernah mengalami akselerasi industrialisasi pada tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Selama kurun waktu itu, pertumbuhan sektor industri manufaktur mencapai dua gigit dan dua kali lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Pemerintah secara sadar aktif mendorong sektor ini, walaupun harus diakui banyak pula ekses yang muncul akibat praktek pmberuan rente dan proteksi yang berlebihan yang dibalut oleh maraknya korupsi-kolusi-nepotisme (KKN).
Setelah krisis tahun 1998, pendulum kebijakan ekonomi bergerak ekstrem ke mekanisme pasar bebas. Liberalisasi terjadi di hampir semua sektor. Sektor industri dan pertanian berjibaku menghadapi terjangan globalisasi dan liberalisasi. Penetrasi barang-barang impor kian merasuk ke pasar domestik, seraya daya saing kita di pasar dunia semakin terseok-seok. Porsi kredit perbankan ke sektor industri manufaktur turun tajam. Industri padat karya mengkerut karena tekanan kenaikan upah dan buruknya dukungan infrastruktur.
Sektor industri manufaktur berangsur merosot sebagai motor pembangunan. Peranan sektor ini dalam PDB turun tajam sebelum mencapai titik optimalnya. Tatkala baru mencapai 29 persen dalam PDB, peranan industr manufaktur sudah melorot hingga mencapai hanya 23,7 persen pada tahun 2013. Peranan sektor ini dalam penyerapan tenaga kerja juga praktis tak kunjung beranjak di kisaran 13 persen, jauh lebih rendah dari penyerapan sektor pertanian (34,4 persen), sektor perdagangan (21,4 persen), dan sektor jasa kemasyarakatan (16,4 persen)
Karena pekerja di sektor pertanian masih dominan dengan produktivitas yang rendah, sedangkan sektor industri manufaktur yang merupakan penyerap terbesar pekerja formal kian menuntut pekerja dengan pendidikan dan keterampilan lebih tinggi—padahal 65,4 persen pekerja hanya tamatan SLTP ke bawah—maka muncullah beberapa komplikasi:
- Pekerja semakin menyemut di sektor informal atau sebagai pekerja informal. Sekitar 27 persen pekerja adalah pekerja informal di sektor pertanian dan 27 persen sebagai pekerja informal di non-pertanian. Sekitar 38 persen lagi sebagai pekerja tanpa kontrak. Selebihnya yang hanya 8 persen terdiri dari pekerja dengan kontrak untuk jangka waktu tertentu (3 persen), pekerja dengan kontrak permanen (3 persen), dan pengusaha (2 persen).
- Sulit memacu produktivitas perekonomian karena pekerja sektor formal dengan jaminan sosial sangat kecil.
- Konsekuensi selanjutnya, distribusi pendapatan semakin timpang akibat perbedaan pendapatan kian mencolok antara mayoritas pekerja informal dengan pekerja di sektor industri padat teknologi dan sektor jasa modern yang jumlahnya relatif sedikit namun dengan tingkat upah yang relatif tinggi. Terbukti, indeks gini dalam lima tahun terakhir naik tajam hingga telah bertengger di angka 0,4 sejak tahun 2013.
Sejarah industrialisasi di dunia menunjukkan, tidak ada satu negara pun yang dapat mencapai kemajuan industri tanpa dukungan pemerintah yang tepat. Mekanisme pasar terbukti gagal mengarahkan ekonomi negara berkembang untuk tumbuh cepat dan mengejar ketertinggalan dari negara maju. Jika hanya bertumpu pada mekanisme pasar, maka karunia sumber (factor endowment) yang dimiliki negara berkembang cenderung menciptakan signal ekonomi yang mengarahkan investasi hanya ke sektor-sektor berteknologi rendah dan memiliki kemampuan menciptakan nilai tambah rendah. Bila hanya melalui mekanisme pasar, ekonomi dan industri negara berkembang akan terperangkap pada keterbelakangan dan tidak akan mampu mengejar ketertinggalan dari negara maju.
Setidaknya ada tiga tugas pokok pemerintah untuk mendorong kemajuan industri, yakni: pembangunan SDM (pendidikan dan pelatihan); penyediaan infrastruktur (banyak negara menyediakan kawasan industri), jalan, pelabuhan, listrik, air bersih; dan fasilitasi R&D untuk meningkatkan teknologi.
Kebijakan fiskal sangat berperan untuk menopang ketiga tugas di atas. Juga pembenahan struktur tariff bea masuk agar berpihak pada penguatan struktur industri. Kebijakan itu sekaligus ditujukan untuk memberangus praktek pemburuan rente. Kepentingan national harus mengemuka, bukan kepentingan kelompok atau pengusaha tertentu.
Dengan kebijakan industrial yang kondusif diharapkan struktur industri bertambah kokoh, tidak seperti sekarang yang ditandai oleh missing middle atau hollow middle atau keropos di tengah. Populasi industri selama ini didominasi oleh industri kecil (sekitar 96 persen). Sedangkan industri besar hanya 1 persen dan industri menengah hanya 3 persen. Sebagai perbandingan, porsi industri menengah di Brazil sebesar 44 persen, di Vietnam 23 persen, dan di Filipina 20 persen.
Struktur industri yang keropos di tengah mengakibatkan lemahnya keterkaitan antarindustri. Yang berskala besar tidak bisa mengandalkan pada produk yang dihasilkan industri kecil dan menengah di dalam negeri, sehingga harus bergantung pada bahan baku/penolong impor. Hal ini terkonfirmasikan dari kenyataan lebih dari tiga perempat impor Indonesia berupa bahan baku/penolong.