Oleh: Faisal Basri[2]
Sejatinya ekonomi dan politik tidak terpisahkan. Ekonomi mengajarkan cara menggapai kemakmuran dan kesejahteraan, sedangkan politik hadir untuk menegakkan keadilan. Membangun bangsa merupakan tugas mulia, mengupayakan perubahan dan kemajuan (progress) di segala bidang untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. Rasa keadilan itulah yang sekarang menyeruak di seantero ..
Ketidakadilan terjadi di mana-mana. Globalisasi sejatinya meningkatkan kemakmuran masyarakat global. Terbukti dalam tiga dekade terakhir kemiskinan di dunia berkurang, semakin banyak penduduk keluar dari lembah kemiskinan. Bukan karena kebetulan, melainkan karena terjadi fusi peradaban (fusion of civilization), bukan a clash of civilization sebagaimana pandangan Samuel Huntington.[3]
Namun, mengapa belakangan ini kian banyak yang menggugat sistem kapitalisme global dan praktek demokrasi liberal, di Amerika Serikat sekalipun? Tema sentral yang diusung oleh Bernie Sanders, kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, adalah revolusi, mengubah struktur kekuatan ekonomi yang semakin timpang. Buah dari kapitalisme Amerika Serikat hanya dinikmati oleh 1 persen warga terkaya, sedangkan sisanya yang 99 persen tidak mengalami kemajuan berarti. Mayoritas pekerja harus bekerja lebih lama untuk mempertahankan daya belinya. Mesin politik digerakkan oleh Wall Street, korporasi besar di industri farmasi dan raksasa minyak, juga raja judi. Mereka menghimpun miliaran dollar AS lewat wadah super PACs (political action commitees) dan saluran tersembunyi membiayai kampanye untuk mendukung atau menentang kandidat.
Berdasarkan The Economist Intelligence Unit’s Democracy Index 2015, Amerika Serikat bukanlah negara demokrasi paling superior. Negara ini hanya menduduki peringkat ke-20 dari 167 negara. Komponen paling rendah adalah political participation dan functioning of government. Pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat sedemikian terbelah. Amerika Serikat menjadi negara maju yang paling timpang di dunia.[4]
Negara-negara Skandinavia menduduki peringkat tertinggi dalam indeks demokrasi. Dalam banyak hal pun negara-negara Skandinavia sangat superior, misalnya dalam Human development index, Globalization index, indeks ketimpangan, dan indikator sosial lainnya. Negara-negara ini dan negara-negara Eropa lainnya yang lebih tangguh menghadari gejolak pada umumnya menerapkan sistem demokrasi sosial dan sistem pasar sosial.
***
Indonesia telah menerapkan berbagai macam sistem politik dan sistem ekonomi. Setelah 70 tahun merdeka, pencapaian Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Padahal, kebanyakan negara yang merdeka setelah Perang Dunia II memulai pembangunan pada titik pijak yang hampir sama. Mengapa Korea dan Macan Asia lainnya mampu tumbuh pesat sehingga telah menyandang status negara maju dan di lapisan kedua seperti Malaysia dan Thailand telah menyandang negara berpendapatan menengah-atas, sedangkan Indonesia masih di kelompok negara berpendapatan menengah-bawah?
Ada yang berpandangan tidaklah layak membandingkan Indonesia dengan Macan Asia yang penduduknya relatif kecil dan wilayahnya tak seluas Indonesia. Dibandingkan dengan China pun, Indonesia sudah tertinggal dan kian jauh. India yang penduduknya lebih satu miliar jiwa belakangan ini terbukti menikmati pertumbuhan tertinggi di dunia.
Indonesia bahkan terancam mengalami perangkap pendapatan menengah (middle income trap). Cita-cita mencapai negara berpendapatan tinggi pada peringatan 100 tahun kemerdekaan amat sulit terwujud jika bangsa Indonesia tidak melakukan transformasi politik dan ekonomi yang radikal.[5]
***