Tahun lalu impor minyak (minyak mentah dan produk bahan bakar minyak) menyedot devisa sebanyak 42,1 miliar dollar AS, naik 5,6 kali lipat dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu yang masih senilai 7,5 miliar dollar AS.
Pada kurun waktu yang sama ekspor minyak hanya naik dua kali lipat, dari 7.2 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi 14,5 miliar dollar AS pada tahun 2013.
Tak ayal, transaksi perdagangan minyak jungkir balik, dari surplus 0,3 miliar dollar AS pada tahun 2003 menjadi defisit yang meroket sebesar 27,7 miliar dollar AS pada tahun 2013.
Tak tanggung-tanggung, impor minyak tahun 2013 mencapai 43 persen dari cadangan devisa pada pertengahan tahun 2013 (akhir bulan Juni). Daya perusak minyak, terutama bahan bakar minyak (BBM), tampak pula dari kenyataan selama lima tahun terakhir ini.
Komoditas ini menjadi pengimpor terbesar, mengalahkan impor mesin dan peralatan mekanik serta mesin dan peralatan listrik yang selama puluhan tahun berada di urutan pertama dan kedua. Minyaklah yang merupakan penyumbang terbesar pelemahan nilai tukar rupiah.
Tekanan minyak terhadap sekujur perekonomian terus berlanjut dan kian berat hingga sekarang. Anggaran Pendaptan dan Belanja Negara (APBN) digerogoti subsidi yang menggelembung, diperkirakan tahun ini sekitar Rp 260 triliun untuk BBM dan sekitar 104 triliun untuk listrik. Total subsidi untuk energi yag berjumlah sekitar 364 itu lebih besar dari APBN Perubahan yang hanya dianggarkan Rp 350 triliun.
Kuota solar dan premium bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter tahun ini juga hampir pasti bakal terlampaui.
Menghadapi tekanan terhadap neraca pembayaran dan nilai tukar rupiah serta APBN yang telah berlangsung bertahun-tahun tidak membuat pemerintah belajar dan kian bijak. Urat nadi persoalan justru tak kunjung disentuh.
Penyesuaian harga BBM bersubsidi terakhir pada akhir Juni 2013 hanya mengembalikan tingkat harga Januari 2009. Jadi, praktis selama lima tahun terakhir tidak terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi. Bahkan harga riil atau harga relatif BBM bersubsidi turun sehingga konsumsi naik pesat.
Pemerintah masih saja berakrobat dengan beragam wacana dan jurus tumpul. Tak satu pun jurus yang berjalan efektif. Sebut saja mulai dari pemasangan stiker mobil dinas pemerintah, wacana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan pribadi, pemasangan radio frequency identification (RFID) yang tak jelas kelanjutannya, penggantian mulut tangki mobil terjangkau dan ramah lingkungan (LCGC), pembelian BBM bersubsidi nontunai, hingga inisiatif terakhir pembatasan lokasi dan waktu operasi penjualan solar bersubsidi.
Semakin banyak inisiatif pengendalian BBM bersubsidi, wujudnya semakin kontra produktif bagi perekonomian serta berpotensi menimbulkan beragam masalah baru yang bertambah pelik dan menambah ketidakpastian. Semua itu berujung pada ongkos penundaan yang kian mahal. Boleh jadi akumulasi ongkos penundaan lebih mahal daripada ongkos memangkas subsidi BBM secepatnya.