Sampai Sabtu dini hari (10/9), dana tebusan yang terkumpul dari program amnesti pajak mencapai Rp 8,39 triliun atau 5,1 persen dari target sebesar 165 triliun. Batas akhir program TA masih cukup lama, yakni 31 Maret 2016. Namun, pesimisme kian merebak. Bank Indonesia memperkirakan dana tebusan hanya Rp 18 triliun tahun ini dan Rp 3 triliun tahun depan, sehingga keseluruhan hanya Rp 21 triliun atau 12,7 persen dari target. Lihat Tax amnesty chokes budget. Gubernur BI mengakui angka itu berdasarkan base-line model, konservatif, dan berdasarkan pencapaian sejauh ini. Mengingat belum ada presedennya, boleh jadi realisasi nanti lebih baik. Saya sendiri lebih optimistik dari BI.
Beberapa hari terakhir terlihat terjadi akselerasi. Dalam 10 hari terakhir, surat pernyataan harta (SPH) naik lebih dua kali lipat, dari 22.202 menjadi 46.593. Nilai harta yang dilaporkan naik dua setengah kali lipat. Nilai harta per SPH pun naik terus dari waktu ke waktu, menandakan skala pengaju TA semakin besar. Peningkatan paling mencolok adalah angka realisasi, dari hanya 1,9 persen pada akhir Agustus menjadi 5,1 persen sepuluh hari kemudian.
Walaupun dana yang dipulangkan (repatriasi) masih relatif kecil, padahal sangat diharapkan mengalir deras, namun dalam 10 hari terakhir menunjukkan perkembangan yang lumayan menggembirakan, naik hampir dua kali lipat.
Pemerintah agaknya perlu mempersiapkan skenario terburuk. Katakanlah uang tebusan hanya Rp 50 triliun untuk tahun ini, yang sebetulnya jauh lebih optimistik ketimbang hitung-hitungan BI.
Mau tidak mau amputasi anggaran tidak hanya untuk belanja rutin, melainkan harus menyasar juga ke belanja modal, termasuk untuk infrastruktur. Sisirlah proyek-proyek infratruktur. Kita yakin ada beberapa proyek infrastruktur yang mubazir peninggalan MP3EI pemerintahan sebelumnya. Beberapa proyek perlu diuji kembali urgensinya.
Tinjau kembali penyertaan modal negara (PMN). Dorong BUMN mencari dana sendiri dan mencari mitra strategis. Tak mengapa tertund setahun untuk berbenah sekaligus menyehatkan BUMN itu sendiri.
Subsidi yang tidak efektif harus diakhiri, misalnya BUMN pelayaran yang memperoleh subsidi karena mengangkut barang atau kontainer ke kawasan timur Indonesia tetapi hasilnya tidak menggembirakan. Termasuk juga kapal khusus pengangkut sapi yang sangat mengecewakan.
Evaluasi rencana pemerintah yang akan menyerap berapa pun produksi petani tanpa perencanaan yang matang. Selesaikan akar masalahnya, jangan grasa-grusu di hilirnya saja.
Skenario amputasi lebih besar memang sangat menyakitkan. Namun, jauh lebih menyesakkan jika pada akhirnya defisit menggelembung hingga melebihi 3 persen PDB. Lebih ironis lagi kalau menekan investasi swasta dan pertumbuhan kredit sehingga justru menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H