Sepertinya pemerintah tidak belajar dari pengalaman APBN-P 2015. Pada APBN 2016 kembali target penerimaan pajak naik tinggi, yaitu 25,2 persen. Padahal, sebagaimana diakui oleh Menteri Keuangan, peningkatan pajak alamiah plus usaha ekstra hanya 13. Peningkatan alamiah berasal dari asumsi APBN 2016 untuk pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dan inflasi 4,7 persen serta usaha ekstra 3 persen.
Optimisme penerimaan pajak 2015 dan 2016 tampaknya sudah memperhitungkan tambahan penerimaan dari pemberlakuan undang-undang pengampunan pajak. Pernyataan Menteri Keuangan yang memperkirakan penerimaan pajak bakal terpangkas Rp 290 triliun dari target APBN 2016 secara implisit belum memperhitungkan kehadiran pengampunan pajak. Memang sebaiknya target penerimaan pajak hanya memerhitungkan variabel yang sudah pasti saja. Seandainya pun undang-undang pengampunan pajak (tax amnesty) segera diberlakukan, tetap saja target penerimaan pajak 2016 sangat sulit tercapai, karena paling banter hanya menambah Rp 100 triliun.
Perlu dicermati penerimaan pajak tahun ini menghadapi tantangan berat karena sebagian potensinya sudah dieksploitasi untuk memenuhi target tahun lalu. Praktek demikian lazim di masa Dirjen Pajak Hadi Purnomo, tetapi ditertibkan semasa Dirjen Darmin Nasution. Praktek "tsunami pajak" tidak sehat karena sangat mendistorsi penerencanaan perpajakan.
Untuk menghadirkan APBN yang sehat lewat perubahan APBN (APBN-P) tinggal tiga alternatif. Pertama, menaikkan defisit APBN dari 2,15 persen PDB menjadi 2,5 persen PDB. Pemerintah harus menerbitkan lebih banyak surat utang. Dengan lingkungan global yang kurang kondusif dan pasar keuangan dunia yang sangat bergejolak, pemerintah harus menawarkan obligasi dengan bunga yang relatif tinggi. Tampaknya pasar domestik hendak digenjot, antara lain dengan menambah kewajiban lembaga keuangan, asuransi, dan dana pensiun untuk membeli surat utang negara.
Akibatnya, terjadi peralihan dari dana deposito ke surat utang negara yang jumlahnya diperkirakan sekitar Rp 90 triliun. Padahal, penurunan giro wajib minimum sebesar 1 persen oleh Bank Indonesia hanya menambah likuiditas perbankan sekitar Rop 34 triliun. Lihat Dampak terhadap Likuiditas.
Akibat selanjutnya dari pengetatan likuiditas perbankan adalah suku bunga sulit turun. Inilah yang di buku teks ekonomi disebut crowding-out effect:Â ekspansi fiskal menyebabkan kenaikan suku bunga, lalu kredit turun dan selanjutnya menekan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, mendorong badan usaha milik negara (BUMN) mencari dana dari pasar ketimpang bergantung pada penyertaan modal negara (PMN). BUMN yang memperoleh penerimaan dalam valuta asing masuk ke pasar modal global. Pelindo II berhasil meraup dana relatif murah, bahkan jauh lebih murah dari obligasi global pemerintah. Sebelumnya Pelindo III sudah pula menerbitkan obligasi senilai 500 juta dollar AS. Pengelola bandara (Angkasa Pura) juga memiliki potensi besar meraup dana dari pasar global. Untuk BUMN yang tidak memiliki pendapatan valuta asing perlu didorong untuk masuk bursa (go public).
[caption caption="Pelindo II"]
Ketiga, memotong belanja. Kalau diibaratkan kondisi fiskal kita terjangkit kanker akibat kekeliruan masa lalu, ada baiknya kaki atau tangan diamputasi agar kanker tidak menjalan ke sekujur tubuh. Yang paling mungkin adalah meninjau kembali proyek jalan tol Sumatera.Â
Pilih saja ruas-ruas yang padat dan ditenderkan terbuka agar swasta maupun BUMN membiayai sepenuhnya proyek itu. Skema private-public partnership bisa digalakkan.