2. Aspek Substansi
Bagi saya, substansi pembahasan tulisan Bung Ronny turut memperkaya pemahaman tentang persoalan jagung di Tanah Air.
Sebelum masuk ke konteks ekonomi politik domestik dan internasional, ada baiknya mengklarifikasi terlebih dahulu persoalan-persoalan dasar.
Pertama, banyak kalangan mempertanyakan soal data produksi pangan, termasuk jagung.Â
"BPS memperkirakan produksi jagung pada 2015 diperkirakan mencapai 20,67 juta ton jagung pipilan kering, atau mengalami peningkatan sebesar 8,72% jika dibandingkan dengan produksi 2014 yang mencapai 19 juta ton.
Jika sebagian besar produksi jagung nasional digunakan untuk pakan ternak, estimasi konsumsi jagung oleh industri pakan maksimal 12 juta ton, dan konsumsi langsung oleh masyarakat sebesar 6 juta ton, seharusnya Indonesia telah mengalami surplus jagung.
Faktanya ialah impor jagung pada 2014 tercatat sebesar 3,2 juta ton. Ini suatu bukti lain tentang kenyataan buruknya akurasi estimasi produksi jagung di Indonesia."
Sumber:Â Bustanul Arifin
Masih soal data. Untuk produksi beras, data bersumber dari BPS dan Kementerian Pertanian. BPS melakukan pengukuran produktivitas berdasarkan survei ubinan yang sudah barang tentu dengan menggunakan sampel. Pengukuran luas lahan dilakukan oleh Kementerian Pertanian berdasarkan pandangan mata. Lihat Penjelasan BPS. Angka produksi diperoleh dari perkalian antara luas lahan (berdasarkan pandangan mata) dengan produktivitas per hektar. Untuk produksi jagung sangat boleh jadi menggunakan cara seperti itu. BPS meragukan kualitas data luas panen sebagai landasan perhitungan produksi pangan yang dikumpulkan Kementerian Pertanian dan dinas pertanian di daerah (sumber: Data Pangan Tidak Akurat)
Akurasi data semakin dipertanyakan ketika muncul prediksi produksi beras, jagung, dan kedelai naik lumayan tinggi secara bersamaan di tengah ancaman El Niño. Apalagi mengingat lahan yang digunakan untuk menanam ketiga jenis pangan itu praktis sama dan digunakan secara bergantian.
Jika data produksi keliru, dalam hal ini lebih tinggi atau jauh lebih tinggi ketimbang kenyataan, tentu saja jauh-jauh hari Kementerian Pertanian memandang tidak perlu impor jagung. Akibatnya terjadi excess demand sehingga harga merangkak naik.