Kalau ada berita dengan judul "Konsumsi BBM Turun: Dampak Kenaikan Harga Ikut Dorong Penurunan," (Kompas, 30 Januari 2014, hal. 17), kesan yang diperoleh adalah: akibat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, konsumsi BBM turun. Padahal, isi beritanya hanya mengungkapkan bahwa realisasi konsumsi BBM bersubsidi lebih rendah dari kuota yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). Pada tahun 2013 kuota BBM bersubsidi dipatok 48 juta kiloliter, sedangkan realisasi konsumsi hanya 46,83 juta kiloliter. Dengan realisasi lebih rendah dari kuota, pemerintah mengklaim kebijakannya sudah efektif menurunkan konsumsi BBM bersubsidi. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Peraga di bawah menunjukkan hanya konsumsi minyak tanah yang turun, sedangkan konsumsi premium dan solar naik terus. Karena produksi minyak mentah Indonesia turun terus dan kapasitas kilang tak bertambah, maka impor BBM semakin meningkat. Kenaikan konsumsi BBM dan impor BBM terus terjadi walaupun harga BBM bersubsidi telah dinaikkan. Peraga di bawah menunjukkan impor BBM semester II-2013 lebih tinggi dari semester I-2013. Dengan kondisi seperti ini, yang paling diuntungkan adalah para pemburu rente, yang memperoleh kesempatan mengimpor BBM ratusan ribu barrel sehari. Katakanlah para pemburu rente dapat untung 1 dollar saja untuk setiap barrel BBM yang diimpor. Kalau mereka mengimpor 400 ribu barrel sehari, maka untungnya sehari 400.000 dollar AS atau sekitar Rp 4,8 miliar aatau setahun Rp 1,8 triliun. Belum lagi impor dan ekspor minyak mentah dan kondensat. Belum lagi yang didapat dari tata niaga BBM untuk kapal di dalam negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H