Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jakarta Beda Ame Detroit, Be!!!

29 Agustus 2013   03:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:40 2211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_284034" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Mantan Gubernur Jakarta mengingatkan Gubernur Jokowi soal kemungkinan Jakarta bisa bernasib seperti Detroit yang mengalami kebangkrutan. Pada bulan Juli 2013 pemerintah kota Detroit mengajukan Bab 9 kebangkrutan (Chapter 9  bankruptcy) ke pengadilan federal karena gagal membayar utang. Outstanding utang Detroit sekitar 19 miliar dollar AS atau sekitar Rp 195 triliun. Dengan mengajukan Bab 9 kebangkrutan, pemerintah kota Detroit bisa membayar hanya sebagian kewajiban utangnya yang jatuh tempo kepada kreditor—kebanyakan investor institusional—agar bisa tetap “bernafas” seraya berupaya merestrukturisasi utangnya. Utang kian menumpuk untuk membiayai defisit anggaran yang setiap tahun hampir selalu defisit. Pemerintah daerah DKI Jakarta (Pemda Jakarta) tak pernah menerbitkan surat utang (municipal bonds) seperti Pemko Detroit. Pemda Jakarta juga boleh dikatakan tak menjalankan anggaran defisit, karena itu tak perlu menerbitkan surat utang. Jadi, bagaimana mungkin Pemda Jakarta mengalami gagal bayar utang seperti Detroit. Kebangkrutan Detroit tidak terjadi tiba-tiba, melainkan berproses sangat panjang. Pada tahun 1960 Detroit memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Amerika Serikat. Penggerak utama perekonomian adalah industri manufaktur, terutama industri otomotif. Jumlah penduduk kala itu sekitar 2 juta jiwa. Karena industri otomotif di AS semakin tidak kompetitif, produsen otomotif AS memindahkan fasilitas produksi ke Meksiko di bawah kerangka NAFTA (North America Free Trade Agreement). Penetrasi mobil impor kian gencar sehingga membuat industri otomotif AS kian kedodoran. Perekonomian Detroit tentu saja terpukul. Pengangguran meningkat, jumlah orang miskin membengkak, dan jumlah penduduk yang buta huruf fungsional bertambah. Porsi penduduk tidak produktif meningkat pesat. Penduduk produktif pindah ke daerah yang lebih atraktif, sehingga jumlah penduduk turun menjadi sekitar 700 ribu jiwa pada tahun 2010. Akibatnya bermunculan kawasan kumuh dan tak berpenduduk. Jakarta berbeda. Bisa saja Jakarta mengalami nasib mirip Detroit jika arah pembangunan di jakarta berubah drastis dan ugal-ugalan. Tanda-tanda ke arah . Namun, sejak dulu perekonomian Jakarta tak pernah bergantung pada satu sektor, apalagi satu industri. Perekonomian Jakarta lebih beragam. Jakarta tidak pula mengalami penurunan jumlah penduduk. Bahkan Jakarta amat kaya dengan penduduk usia produktif. Jakarta sedang menikmati puncak bonus demografi. Sebagian besar penduduk Jakarta berusia 20-44 tahun. Hanya Jakarta yang memiliki kemewahan ini.

Dampak dari penurunan penduduk dan kemerosotan perekonomian Detroit adalah pada penerimaan pajak. Di AS pemerintah negara bagian dan pemerintah kota berhak mengenakan pajak pendapatan. Pemerintah kota juga berhak sepenuhnya atas pajak penjualan. Tak pelak lagi, kapasitas penerimaan pemko Detroit dari pajak turun, sedangkan pengeluaran cenderung naik terus. Maka, defisit anggaran (APBN) terus berlangsung sehingga utang pun naik terus. Jakarta berbeda. Pajak atas laba perusahaan sepenuhnya merupakan hak pemerintah pusat. Pajak penghasilan perseorangan ditarik oleh pusat dan 20 persen diserahkan kepada daerah. Pembayar pajak paling banyak ada di Jakarta. Tahun 2013 Pemda Jakarta memperoleh dana bagi hasil dari pemerintah pusat--yang sebagian besar dari pajak perseorangan--senilai Rp 9,2 triliun. Sementara itu pendapatan asli daerah (PAD) terus meningkat dari sumber yang sangat beragam. Sejauh ini kita tidak melihat anggaran Pemda Jakarta digunakan untuk yang aneh-aneh, bahkan semakin banyak porsi yang dialokasikan untuk kepentingan publik. Tentu saja Pemda Jakarta mulai harus hati-hati dan lebih terukur. Jangan sampai, misalnya, dalam menyediakan fasilitas perumahan untuk warga serba gratis dan tidak memperhitungkan ongkos pemeliharaan, sehingga beban APBN 5-10 mendatang sangat berat. Jangan sampai seperti di Venezuela yang akhirnya menimbulkan masalah baru dalam APBN mereka. Kita mendambakan Jakarta yang berkeadaban. Kepentingan publik di atas segalanya. Kalau Jakarta berhasil, rasanya kita semakin optimistik Indonesia pun bakal berhasil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun