Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Saya Memilih Jokowi?

6 Juli 2014   07:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:17 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah mencermati perjalanan panjang perekonomian Indonesia, muncul perasaan gamang. Perekonomian Indonesia kerap terantuk, bahkan terhempas. Penyebabnya lebih banyak dari dalam diri kita sendiri (internal). Faktor eksternal tentu saja juga beberapa kali jadi pemicu, namun tak seberapa dibandingkan dengan faktor internal.

Saya semakin yakin penyebabnya adalah faktor institusi sebagaimana diutarakan Acemoglu dan Robinson dalam bukunya "Why Nations Fail." Indonesia masih berkutat dengan jeratan extractive economic institutions dan extractive political institutions. Dalam keadaan demikian, kekuatan ekonomi dan politik terkonsentrasi di tangan segelintir orang, yang leluasa tanpa kendala berarti "merampok" kekayaan nasional lewat lisensi maupun merebutnya dari pihak lain. Untuk meredamnya, tidak ada pilihan lain kecuali mewujudkan inclusive economic institutions dan inclusive political institutions, yang memungkinkan partisipasi dan akses luas masyarakat atas sumber daya produktif, fasilitas pendidikan dan kesehatan.

Persoalan institusi inilah yang ditengarai membuat trend pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pelemahan sebagaimana tampak pada garis hitam melengkung pada peraga di atas. Perekonomian kelihatan kehilangan tenaga untuk mengakselerasi.

Sebetulnya Indonesia memulai pembangunan praktis hampir bersamaan dengan negara-negara tetangga pada tingkat kesejahteraan yang hampir sama pula. Sayangnya, sebagaimana tampak pada peraga di bawah, Indonesia semakin tertinggal.

Tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk Indonesia sempat bertahun-tahun di atas China. Namun, pada tahun 1998, China menyusul Indonesia dan hingga sekarang berlari kian cepat meninggalkan Indonesia. Belakangan, tahun 2007, giliran Timor-Leste menyusul Indonesia.

Sejak tahun 2011 pertumbuhan ekonomi kembali melemah hingga sekarang. Penurunan paling tajam terjadi pada triwulan I-2014 yang hanya 5,2 persen dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,7 persen. Sudah bisa dipastikan target RPJM tidak akan tercapai.

Lebih memprihatinkan lagi, kecenderungan pelemahan pertumbuhan diiringi oleh ketimpangan yang semakin memburuk, terutama sejak 2005. Indeks Gini telah mencapai 0,413, melewati 0,4 yang merupakan batas kategori ketimpangan menengah, tidak lagi ketimpangan rendah.

Perlu diketahui, perhitungan indeks gini untuk Indonesia berdasarkan pengeluaran, bukan pendapatan. Jika berdasarkan pendapatan, hampir bisa dipastikan Indeks Gini Indonesia lebih buruk lagi, boleh jadi telah masuk kategori ketimpangan tinggi.

Perolehan kelompok top-20 (penduduk 20 persen terkaya) naik dari 40,2 persen pada tahun 1963 menjadi 45,3 persen tahun 1978. Peningkatan paling tajam terjadi dari  41,2 persen tahun 2009 menjadi 49 persen pada tahun 2013.

Tak kurang dari seorang Thomas Piketty pun memasukkan Indonesia dalam kajian ketimpangan yang tertera dalam bukunya yang fenomenal berjudul "Capital in the Twenty-First Century." Di situ tampak ketimpangan di Indonesia--yang diukur dengan penguasaan kelompok 10 persen terkaya dalam pendapatan total--memburuk dan lebih buruk dari China dan India.

Peraga berikut menunjukkan sekitar empat per lima penduduk Indonesia mengalami peningkatan pendapatan lebih rendah dari rata-rata. Tampak pula, semakin miskin penduduk semakin rendah pertumbuhan pendapatannya--we're growing apart.

Kita juga mengalami perlambatan dalam memerangi kemiskinan. Garis hitam melengkung yang berbentuk cekung mengindikasikan hal itu. Sekalipun program pengentasan orang miskin semakin banyak dan peningkatan alokasi dananya meningkat berlipat ganda, ternyata hasilnya tidak menggembirakan. Serasa "pisau" yang digunakan semakin tumpul.

Pilar utama kemajuan suatu bangsa adalah sumber daya manusianya. Bagaimana pembangunan bisa mengakselerasi dan menghasilkan distribusi pendapatan yang lebih merata kalau kinerja pendidikan kita tertatih-tatih. Skor pendidikan Indonesia berada di urutan kedua terbawah.

Kian memprihatinkan karena penguasaan matematika dan kemampuan membaca murid sekolah menengah Indonesia mengalami kemunduran (deceleration)

Penguasaan materi science pun mengalami kemunduran.

Tidak mengherankan jika Indonesia sangat sedikit menghasilkan temuan sebagaimana terlihat dari jumlah patent application. Sekedar data pun banyak yang bolong. Data aplikasi paten untuk tahun 2007 dan 2008 tak tersedia, sedangkan untuk tahun 2012 belum ada. Berdasarkan data terakhir tahun 2011, aplikasi paten dari Indonesia hanya 541 atau 0,13 persen dari aplikasi paten yang diajukan China pada tahun yang sama.

Ditambah dengan kondisi infrastruktur yang buruk dan birokrasi yang berbelit-belit, daya saing Indonesia semakin terpuruk. Hal ini tercermin dari kenyataan bahwa transaksi perdagangan luar negeri (ekspor dan impor barang) sudah mengalami defisit sejak tahun 2012, pertama kali sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Defisit perdagangan luar negeri berlanjut hingga sekarang.

Tengoklah perkembangan belakangan ini. Data bulanan menunjukkan lebih kerap defisit ketimbang surplus. Bahkan, tak jarang transaksi perdagangan nonmigas pun mengalami defisit.

Defisit perdagangan menerjang hampir semua kelompok barang. Defisit produk manufaktur terjadi sejak 2008, sedangkan defisit produk pangan praktis terjadi sejak 2007.

food deficit
food deficit

Defisit manufaktur sejalan dengan penurunan pangsa sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB). Sejak di titik puncak tahun 2001 (29 persen), peranan industry manufaktur hampIr selalu menurun dan merosot terus menerus tanpa jeda sejak 2008 hingga sekarang (23,6 persen).

Rakyat Indonesia masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar pekerja berstatus pekerja informal, 27 persen di pertanian dan 27 persen lagi di non-pertanian. Mereka tanpa jaminan sosial. Mash ada lagi 38 persen pekerja formal tetapi tidak memiliki kontrak kerja. Tentu saja kelompok ini tidak menikmati hak-hak normative pekerja sebagaimana dinikmati pekerja formal dengan kontrak yang jumlahnya hanya 8 persen.

Semakin rentan nasib pekerja karena Indonesia tidak memiliki sistem jaminan sosial dengan lima pilar. Sejauh ini hanya 1 pilar yang sudah hadir, yakni BPJS-Kesehatan.

Perlindungan sosial (social protection) juga sangat buruk. Kita berada di urutan ke-27 dari 35 Negara di Asia. Bandingkan dengan Timor-Leste yang berada jauh di atas Indonesia, di urutan ke-11.

Belanja Negara untuk perlindungan sosial sangat rendah, juga di urutan ke-27. Jauh lebih besar alokasi APBN untuk subsidi BBM yang salah arah itu.

Tak mengherankan jika indeks kemajuan sosial kita juga relatif rendah dibandingkan negara tetangga.

Kita tidak boleh membiarkan perlambatan kemajuan negeri ini terus berlangsung. Kita harus memanfaatkan momentum bomus demografi. Jika lengah, generasi mendatang bakal menanggung beban berat.

Kalau cuma tumbuh 6 persen rata-rata setahun, pendapatan per kapita masih akan di bawah 10,000 dollar AS pada tahun 2030, tatkala era bonus demografi berakhir dan kita memasuki tahapan aging population.

Momentum perubahan sedang di depan mata. Kesempatan mengubah nasib bangsa terbuka lebar.

Jokowi menawarkan perubahan hakiki, baik cara pandang, pendekatan, maupun perangkatnya. Dalam sejumlah hal, yang ditawarkan Jokowi amat berbeda, bahkan bertolak belakang dengan yang ditawarkan calon nomor urut 1.

Jokowi ingin mengembalikan jati diri bangsa sebagai negara maritim. Ia memulainya dengan gagasan tol laut, yaitu kapal-kapal yang berlayar menyusuri Indonesia dari Barat sampai ke Timur dan sebaliknya. Agar kapal besar dapat merapat di berbagai daerah, Jokowi berkomitmen untuk memodernisasikan pelabuhan, antara lain dengan mengeruknya agar menjadi deep sea ports.

Dengan mengintegrasikan perekonomian domestik, disparitas harga antardaerah bisa ditekan. Kesejahteraan petani produsen meningkat karena hasil produksinya dapat dibawa sejauh mungkin dengan ongkos angkut yang murah. Sebaliknya, konsumen dapat membeli dengan harga yang lebih murah pula, karena terjadi konvergensi harga.

Gagasan Jokowi kontras dengan rencana Prabowo-Hatta yang akan membangun jalan bebas hambatan di atas laut. Tuhan mengaruniai negeri ini dengan laut yang luas, jalan bebas hambatan, tak perlu diaspal, tiang pancang, dan pembebasan lahan.

Dalam kaitannya dengan program pertanian juga amat kontras. Prabowo-Hatta mengandalkan konsep MP3EI yang sarat mengandung sesat pikir. Uraian lebih lengkap tentang ini dapat dilihat di: Sesat Pikir KEK dan MP3EI http://wp.me/p1CsPE-DW, (1) Puncak Sesat Pikir: Jembatan Selat Sunda http://wp.me/p1CsPE-9A;  (2) Sesat Pikir MP3EI: Peran Negara http://wp.me/p1CsPE-4U; (3) Sesat Pikir MP3EI: Motor Pembangunan http://wp.me/p1CsPE-3P; (4) Sesat Pikir MP3EI: Apa Lagi yang Hendak Diliberalisasikan? http://wp.me/p1CsPE-2L; dan (5) Sesat Pikir Proyek Jalan Tol Lintas-Sumatera http://wp.me/p1CsPE-I.basi.

juga kehilangan fokus. Prabowo-Hatta berambisi membangun pabrik pupuk urea dan NPK baru milik petani berkapasitas 4 juta ton. Bukankah badan usaha milik negara (BUMN) selama ini sudah berhasil menjalankan tugasnya membangun pabrik pupuk untuk memenuhi kebutuhan petani? Bukankah pabrik-pabrik pupuk itu milik kita bersama, milik bangsa Indonesia? Tugas pemerintah adalah memastikan pupuk tersedia dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, dan dengan harga terjangkau.

Kiranya sekelumit gambaran di atas lebih dari cukup bagi saya untuk menentukan pilihan. Negeri ini butuh pemikiran dan pendekatan baru, gagasan segar. Bukan tawaran basi, karena yang menawarkan telah terbukti tak berbuat banyak kala memiliki kewenangan untuk membenahinya.

Teramat banyak kelompok kepentingan yang bercokol di sana, yang sudah terbukti menggerogoti kekayaan nasional. Kita harus memutus mata rantai kelompok-kelompok kepentingan itu agar jalan ke hadapan semakin mulus.

Jokowi adalah harapan saya, harapan kita semua.  Menjadikan Indonesia bermartabat dan maju, masyarakatnya yang inklusif, tidak mengandung benih-benih otoritarianisme yang kental. Tidak direcoki oleh masa lalu yang kelam, agar sepenuh tenaga dicurahkan menghadapi tantangan berat ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun