Setelah mencermati perjalanan panjang perekonomian Indonesia, muncul perasaan gamang. Perekonomian Indonesia kerap terantuk, bahkan terhempas. Penyebabnya lebih banyak dari dalam diri kita sendiri (internal). Faktor eksternal tentu saja juga beberapa kali jadi pemicu, namun tak seberapa dibandingkan dengan faktor internal.
Saya semakin yakin penyebabnya adalah faktor institusi sebagaimana diutarakan Acemoglu dan Robinson dalam bukunya "Why Nations Fail." Indonesia masih berkutat dengan jeratan extractive economic institutions dan extractive political institutions. Dalam keadaan demikian, kekuatan ekonomi dan politik terkonsentrasi di tangan segelintir orang, yang leluasa tanpa kendala berarti "merampok" kekayaan nasional lewat lisensi maupun merebutnya dari pihak lain. Untuk meredamnya, tidak ada pilihan lain kecuali mewujudkan inclusive economic institutions dan inclusive political institutions, yang memungkinkan partisipasi dan akses luas masyarakat atas sumber daya produktif, fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Persoalan institusi inilah yang ditengarai membuat trend pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pelemahan sebagaimana tampak pada garis hitam melengkung pada peraga di atas. Perekonomian kelihatan kehilangan tenaga untuk mengakselerasi.
Sebetulnya Indonesia memulai pembangunan praktis hampir bersamaan dengan negara-negara tetangga pada tingkat kesejahteraan yang hampir sama pula. Sayangnya, sebagaimana tampak pada peraga di bawah, Indonesia semakin tertinggal.
Tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk Indonesia sempat bertahun-tahun di atas China. Namun, pada tahun 1998, China menyusul Indonesia dan hingga sekarang berlari kian cepat meninggalkan Indonesia. Belakangan, tahun 2007, giliran Timor-Leste menyusul Indonesia.
Sejak tahun 2011 pertumbuhan ekonomi kembali melemah hingga sekarang. Penurunan paling tajam terjadi pada triwulan I-2014 yang hanya 5,2 persen dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,7 persen. Sudah bisa dipastikan target RPJM tidak akan tercapai.
Lebih memprihatinkan lagi, kecenderungan pelemahan pertumbuhan diiringi oleh ketimpangan yang semakin memburuk, terutama sejak 2005. Indeks Gini telah mencapai 0,413, melewati 0,4 yang merupakan batas kategori ketimpangan menengah, tidak lagi ketimpangan rendah.