Ongkos penundaan paling kentara adalah tetap tingginya defisit akun lancar (transaksi berjalan/current account) dan gejolak nilai tukar rupiah, penyelundupan dan manipulasi kian marak, ongkos berutang semakin mahal akibat sovereign rating (peringkat utang negara) tak membaik karena risiko fiskal naik, dan diversifikasi energi nonfosil terhambat.
Ujung-ujungnya adalah pertumbuhan ekonomi melambat. Sudah 14 triwulan terakhir ini pertumbuhan ekonomi mengalami tren menurun. Dalam dua triwulan terakhir pertumbuhan PDB masing-masing hanya 5,2 dan 5,1 persen, merosot dari 5,7 persen pada triwulan IV-2013.
Bukannya menawarkan kebijakan anti-cyclical untuk membalikkan kecenderungan, tetapi justru pemerintah dan Bank Indonesia sibuk berulang kali mengoreksi proyeksi atau target pertumbuhan, seraya menempuh langkah-langkah yang “mencekik” kegiatan ekonomi produktif.
Sebagai contoh, tengok saja pertumbuhan konsumsi pemerintah yang turun tajam selama tiga triwulan terahir, dari 8,6 persen pada triwulan III-2013 menjadi 6,4 persen pada triwulan IV-2013 dan 3,6 persen pada triwulan I-2014, serta akhirnya kontraksi (minus) 0,7 persen pada triwulan II-2014.
Pemerintah juga selalu menjadikan perekonomian dunia, khususnya pertumbuhan di Amerika Serikat dan Tiongkok, sebagai kambing hitam. Padahal, pertumbuhan ekonomi AS naik tajam dari minus 2,1 persen pada triwulan I-2014 menjadi 4,0 persen pada triwulan II-2014.
Perekonomian AS yang membaik dipandang sebagai ancaman karena bakal mendorong Bank Sentral AS (The Fed) mengurangi stimulus. Sebaliknya, kalau memburuk, juga jadi ancaman terhadap ekspor Indonesia.
Kemungkinan perlambatan ekonomi Tiongkok juga dipandang berdampak terhadap perlambatan ekspor kita, padahal Dana Moneter Internasional (IMF) hanya mengoreksi proyeksi pertumbuhan Tiongkok dari 7,5 persen menjadi 7,4 persen untuk tahun 2014.
Kondisi geopolitik dunia dan regional makin tak menentu. Konflik di sejumlah kawasan yang kaya minyak tampaknya akan terus berlanjut. Faktor itu yang membuat harga minyak mentah dunia bakal tetap di kisaran 100 dollar AS per barrel dan sewaktu-waktu harga minyak mentah bisa naik tajam.
Jangan biarkan kanker menjalar ke sekujur tubuh perekonomian. Menaikkan harga BBM bersubsidi secepatnya paling tidak sebesar Rp 1.500 per liter merupakan kemoterapi yang menyakitkan, tetapi menjanjikan penyembuhan total. Menundanya sama saja dengan mewariskan bom waktu kepada pemerintahan baru.
Kita yakin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bakal meninggalkan legacy sebagai negarawan bijak bestari.
[Dimuat di Harian Kompas, Senin, 11 Agustus 2014, hal.15]