dilansir dari berita Detik. com dengan judul Menerka Masa Depan nelayan kecil Indonesia. "
Setelah  Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober lalu, salah satunya adalah kluster Kelautan dan Perikanan. Khusus untuk perikanan terdapat dua undang-undang (UU 31 tahun 2004 dan UU 45 Tahun 2009) yang berlaku sebelumnya kemudian diubah ketentuan pasal-pasalnya dalam UU Cipta Kerja. Sebelum adanya UU Cipta Kerja, terminologi nelayan kecil menurut UU 45 tahun 2009 Pasal 1 ayat 11 adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). Dalam pasal ini jelas secara tertulis bahwa nelayan yang menggunakan kapal perikanan di atas 5 GT tidak bisa dibilang sebagai nelayan kecil. Dalam UU Cipta Kerja terminologi nelayan kecil tersebut diganti menjadi orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakannya. Perubahan terminologi nelayan kecil dalam UU Cipta Kerja menjadi lebih luas  dan tidak ada batasan untuk ukuran kapal penangkapan ikannya. Terminologi baru nelayan kecil juga perlu dicermati terutama kebijakan  bantuan dan subsidi untuk nelayan kecil jangan sampai menjadi tidak tepat sasaran. Nelayan kecil harus cermat karena, Yang tadinya bukan tergolong nelayan kecil karena adanya terminologi baru ini, maka akan ikut mengambil keuntungan dari bantuan dan subsidi tersebut. Keuntungan bagi Nelayan kecil yaitu , UU Cipta Kerja menjelaskan bahwa nelayan kecil tidak perlu mengurus perizinan usaha untuk mengoperasikan kapal penangkapan ikan. Hal ini bisa menjadi kabar baik dan kabar buruk bagi nelayan kecil. Kabar baiknya, nelayan kecil tidak perlu direpotkan dengan birokrasi perijinan ke pemerintah pusat. Kabar buruknya, akan semakin banyak bermunculan "nelayan-nelayan kecil" yang dimodali oleh pemilik modal karena tidak perlu ribet mengurus perizinan dan membayar pajak yang mahal. Nelayan di Indonesia didominasi oleh nelayan skala kecil yang menggunakan kapal perikanan kecil (di bawah 10 GT); jumlahnya lebih dari 80% dari total keseluruhan kapal perikanan yang ada di Indonesia. Penelitian Ayunda, dkk (2018) mengungkapkan bahwa perikanan skala kecil di Indonesia menuju pada eksploitasi tangkapan ikan berlebih. Hal ini menjadikan wilayah penangkapan ikan skala kecil khususnya di daerah pesisir rawan terjadi overfishing dan overexploited Jika semakin banyak nelayan kecil bermunculan, maka dapat dipastikan akan terjadi keterbatasan sumber daya ikan akibat overfishing dan overexploited. Setelah itu akan terjadi perebutan wilayah penangkapan ikan yang masih memiliki stok ikan. Hal Ini berdampak buruk karena dapat menimbulkan konflik di antara sesama nelayan kecil. Kejadian seperti itu yang disebut oleh Hardin (1968), seorang pakar ekologi dunia sebagai Tragedy of The Commons. Bagi masa depan perikanan Indonesia, Harapan itu cerah dan terang bemderang. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian KP untuk memprioritaskan keberlanjutan sumber daya ikan dan kesejahteraan nelayan. Selain itu, harus melakukan pendataan dan pemerataan terkait nelayan kecil agar tidak menumpuk di suatu daerah untuk mencegah terjadinya overfishing, overexploited, dan konflik nelayan. Jangan sampai tujuannya menyejahterakan tetapi hasilnya malah menyusahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H