Sekitar lima tahun yang lalu muncul istilah baru di kalangan anak muda, yang terus menetap di benak masyarakat hingga sekarang yaitu istilah yang 'Alay'. Kata 'Alay' merupakan singkatan dari kata 'Anak layangan', sebuah istilah yang menurut saya sebenarnya lahir dari kelompok ekonomi menengah ke atas. Yaitu label bagi anak-anak dari kalangan sub-urban yang mencoba terlalu keras untuk mengikuti tren anak kota dari ekonomi kelas atas. Mereka, para 'Alay', sering berpenampilan dengan rambut dicat coklat atau merah, dari sanalah muncul asosiasi ‘Alay’ dengan ‘Anak layangan’.
Secara demografis, segmen muda 'Alay' merupakan segmen mayoritas. Sebab, kelompok ekonomi menengah kebawah sendiri berada di kisaran 70 persen dari total populasi Indonesia. Karakteristik mereka antara lain adalah mengenakan t - shirt bertuliskan kata-kata yang menarik perhatian, skinny jeans yang robek, rantai tergantung di celana, rambut pony panjang dengan tampilan basah, dan sepatu ala ala dogmart.
Namun, stereotip pemuda-pemudi Alay 'seperti yang dijelaskan sebelumnya kini sudah mulai bergeser. Ini saya temukan di lapangan lewat penelusaran etnografis bersama youth laboratory indonesia. Sekarang, anak muda ‘Alay’ memiliki varian yang lebih banyak dan luas. Mereka kini mengikuti tren musik indie lokal, fashion kelompok kelas atas juga hobi-hobi urban baru seperti shuffle dance, hip-hop, dan parcour. Bisa dikatakan, pandangan kelompok muda ‘Alay’ telah berevolusi dan semakin mirip dengan kelompok muda dari kelas yang lebih tinggi.
Sayangnya, segmen muda 'Alay' selalu menjadi korban bullying sosial dari kelompok sosial yang lebih beruntung secara ekonomi. Hal ini sering terjadi di media sosial, di mana anak-anak yang berasal dari kelompok mapan mencemooh dan mencela apa yang dilakukan oleh pemuda-pemudi 'Alay'. Hal ini sebenarnya membuat jurang psikologis yang besar antara anak muda dari kelas menengah keatas dengan mereka yang berada di bawahnya. Istilah psikologi sosial yang tepat bagi ini adalah ‘deprivasi sosial’.
Walau tidak selalu terjadi pada setiap kasus, namun saya sering dapati anak muda dari kelompok ekonomi yang tinggi kerap memandang rendah anak muda yang berasal dari kelas bawah, aspek yang menjadi acuan adalah lifesytle! sedangkan pemuda kelas bawah kerap melihat pemuda kelas atas sebagai elitis dan arogan. Tidak ada sinergi yang terjadi antara dua kelompok tersebut. Meskipun, pada kenyataannya mereka selalu bersinggungan dalam cara menanggapi tren-tren global. Dimana pemuda kelas atas tampaknya selalu mencoba untuk menyalin tren dari luar negeri, sedangkan Alay mencoba menafsirkannya dengan kemampuan kelas sosial mereka.
Sebenarnya 'Alay' memiliki budaya yang berbeda dan sangat unik. Saya berani mengatakan bahwa mereka memiliki pandangan dunia yang orisinil atau indigenous, sangat menarik serta kompleks. Sebagai contoh pandangan serta sikap terbaru mereka terhadap dunia dapat diintisarikan lewat kata 'woles', yang sebenarnya adalah kata 'slow' dalam bahasa Inggris yang dibaca secara terbalik. Secara semantik dan simbolik hal ini menandakan bahwa Alay yang selalu menentang arus. Di tempat lain, pace hidup mereka tidak kompetitif dan ambisius sebagaimana pemuda yang berasal dari kelas sosial lainnya. Tapi dalam artikel ini saya tidak akan membahas panjang lebar tentang 'woles' karena hal tersebut membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Yang saya rasa perlu dibahas di sini adalah budaya 'Alay' sebagai reaksi budaya pemuda kelas bawah terhadap globalisasi.
Saya melihat, dan tentunya ini melalui sebuah perjalanan riset longitudinal, bahwa terdapat reaksi perlawanan terhadap tren-tren global. Salah satu contohnya adalah penciptaan bahasa khas oleh 'Alay', yang disebut bahasa '4l4y'. Bahkan sekarang, ada sebuah situs yang bisa mengubah apa pun yang kita tulis ke dalam bahasa 'Alay' (lihat: http://alaygenerator.blogspot.com/). Kedua, tren fashion mereka orisinil! terlepas dari berbagai cemohoan terhadap mereka. Sesungguhnya mereka telah berhasil menciptakan perpaduan dari berbagai mode aitem yang digunakan oleh pemuda kelas atas menjadi sesuatu yang baru. Yaitu menciptakan busana khas tanpa melupakan ciri khas asal-usul mereka dari lingkungan kelas bawah. Â Jiwa kreatif yang mereka bawa sebenarnya adalah jiwa eksperimental sebagaimana pemuda Jepang di jalan Harajuku.
Saya yakin bahwa budaya 'Alay' sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi tren nasional bahkan global jika merek dan pemerintah dapat melihat mereka dari sisi yang berbeda, yaitu dengan pandangan yang lebih positif. Mereka sesungguhnya hanya berusaha untuk menarik perhatian dan apresiasi publik, sesuatu yang sulit mereka dapatkan di lingkungan mereka yang keras. Kultur Alay dapat saya katakan merupakan sebuah upaya untuk mengatakan "Saya juga mampu untuk tampil dan berekspresi seperti Anda". Namun sayangnya terdapat sebuah hijab besar yang menjadi penghalang mereka yaitu masalah self esteem dan kepercayaan diri.
Kalau saja brand dan pemerintah dapat memberikan treatment yang sesuai bagi mereka, serta kesempatan yang sama sebagaimana diperoleh oleh anak-anak muda dari kelompok ekonomi kelas atas. Saya percaya anak-anak muda dari kelompok Alay akan menjadi penentu perubahan alur tren yang akan terjadi di Indonesia serta Asia, baik dari segi fashion, tren, musik dan gaya hidup. Percaya atau tidak!
Muhammad Faisal
Muhammad Faisal (Kandidat Doktor di Bidang Psikologi) Pengajar Psikologi Sosial-Politik, Pendiri Youth Laboratory Indonesia
Generasi Millenial Indonesia, Generasi Paling Religius?
Indonesian Female Youth: Fashion, Beauty, and Bloggers
Indigenousity of Indonesian Youth Trends from Java
Pasar Santa: Eklusivitas-Inklusivitas Anak Muda Millenial?
Keunikan Generasi Millenial Indonesia (Kolektivitas, Identitas, dan Media Sosial)
Dampak Gadget Bagi Anak dan Tips Untuk Orang Tua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H