Mohon tunggu...
Muhammad Faisal
Muhammad Faisal Mohon Tunggu... profesional -

Penulis: Muhammad Faisal Pendiri Youth Laboratory Indonesia(Biro riset pertama di Indonesia yang meneliti tentang Gen XYZ)| Ph.D dalam bidang Psikologi Sosial| Penulis buku tentang kultur pemuda & teori generasi|Co-writer buku Generasi Langgas Millenials Indonesia|{enulis buku Generasi Phi:Memahami Milenial Pengubah Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keunikan Generasi Millenial Indonesia (Kolektivitas, Identitas, dan Media Sosial)

11 September 2014   19:12 Diperbarui: 4 April 2017   18:26 2855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


INDONESIAN YOUTH CULTURE:

Kolektivisme,Identitas, dan Media Sosial

Muhammad Faisal M.Si

BAB 1

Kei, Seorang sahabat dari Jepang, pernah bertanya kepada saya pada sebuah pertemuan santai di sebuah Kafe di bilangan Sabang “Mengapa anak muda di negaramu selalu menggonta-ganti foto mereka di facebook dan bbm?”, saya balik bertanya “ada yang salah dengan hal itu?”. Kei lalu menyambut “Di Jepang saat ini anak muda menilai privasi dengan harga yang sangat mahal, bahkan mereka rela membeli sebuah avatar sebagai topeng untuk menutup wajah asli mereka!”.

Pertemuan dengan Kei Shimada, seorang kawan ahli telekomunikasi dari Jepang tersebut meninggalkan sebuah pertanyaan hipotetis yang mendalam pada diri saya. Dimana, pertanyaan hipotetis tersebut apabila bisa terjawab dengan baik, maka akan dapat menjelaskan begitu banyak permasalahan seputar perilaku dan budaya anak muda millenial di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya juga telah menjadi unek-unek dari kelompok generasi baby boomers yang kini mengambil peran sebagai orang tua juga pendidik. Kumpulan unek-unek itu apabila tidak ditanggapi dengan serius oleh kaum “senior” maka akan melahirkan stereotipy-stereotipy negatif seputar generasi muda kita. Beberapa stereotypi yang kini telah muncul serta terlontar antara lain adalah ungkapan ‘generasi narsis’ dan ‘generasi labil’.

Sebelum terjun bebas dalam dunia riset mengenai budaya anak muda (youth culture) saya sendiri menyimpan prasangka dan stereotipy negatif yang kuat terhadap Gen Y. Beberapa pengalaman pahit mengajar di jenjang universitas membuat saya menjadi pesimis tentang masa depan generasi muda di Indonesia. Namun, setelah melihat realitas dari kacamata riset yang jernih dari sangkaan dan dugaan, saya menjadi bersimpati juga berempati terhadap generasi yang memiliki tantangan lebih berat ini.

Generasi millenial sendiri sering kali didefinisikan tidak berdasarkan tanggal lahir namun berdasarkan kecenderungan perilaku dan psikografis mereka. Dimana, generasi yang unik ini adalah generasi yang lahir di era intenet. Perilaku adaptif mereka sendiri sangat cepat terhadap segala sesuatu yang bernuansa digital. Saya secara pribadi lebih sepakat terhadap definisi seperti ini. Namun, dalam sudut pandang yang berbeda, generasi millenial juga dikatakan merupakan kelanjutan dari Generasi X atau Generasi Mtv, Generasi Millenial yang lahir di dekade akhir 80an dan dekade 90an.

Apabila kita mundur beberapa tahun kebelakang, yaitu pada tahun 2002 ketika Media Friendster pertama kali mengudara di jagad digital. Maka kita akan dapati bahwa para pengguna pertama media sosial tersebut berasal dari kalangan pelajar di jenjang SMU dan Sarjana. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, mereka memiliki latar belakang yang sama, yaitu ikut serta dalam program pertukaran pelajar. Pada bab berikutnya, saya akan membahas secara lebih mendetil tentang pola keluar masuknya budaya pop pada segmen muda Indonesia ini secara lebih mendetil.

Secara lanjut, para siswa/i dan mahasiswa/i yang mengikuti pertukaran pelajar di benua lain ini yang bertanggungjawab besar dalam tumbuh kembangnya media sosial Friendster di Indonesia. Kala itu Friendster memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai media pertemanan dan ajang mencari pacar. Friendster bahkan mengalahkan MiRC, sebuah aplikasi chatting terkemuka pada awal dekade 2000 dalam hal keampuhannya mencari ‘gebetan’ baru. MiRC pun bergeser segmen, yaitu segmen dewasa menengah. Perilaku anak muda Indonesia di Friendster sendiri memiliki pola yang menarik. Dimana, penulisan testimoni di account seorang teman bersifat transaksional. “Aku menulis hal-hal bagus tentang kamu, therefore you do the same for me” demikian kurang lebih rules of thumb yang berlaku.

Lucunya Rule of thumb tersebut tidak terlalu eksplisit pada para pengguna Friendster dari benua lain, akan tetapi norma tersebut bersifat indigenous, unik, dan khas Indonesia. Melalui perjalanan enam tahun penelitian secara intensif mengenai perilaku, gerak-gerik dan budaya anak muda Indonesia. Saya pada akhirnya menyimpulkan dan menyadari bahwa anak muda Indonesia memiliki kolektivisme yang sangat kuat. Sayapun berani bertaruh bahwa kolektivisme anak muda Indonesia merupakan salah satu yang terkuat di dunia.

Kolektivisme sebagaimana saya pahami dan sadari adalah bahwa segala isu dan permasalahan dalam kehidupan anak muda Indonesia memiliki batasan sosial yang tipis. Permasalahan apapun menjadi sesuatu yang wajib untuk di shared kepada teman. Selain itu, ia juga merupakan saham permasalahan dari peergroup dan kelompok pertemanan yang lebih luas. Sebut saja permasalahan ‘jadian’, yaitu ketika seorang anak laki-laki ‘menembak’ (menyatakan bahwa ia suka) seorang perempuan atau sebaliknya. Dalam kolektivisme youth culture Indonesia ‘Jadian’ merupakan sebuah peristiwa yang proses awal dan akhirnya harus di share kepada peergroup, apabila tidak, maka anak muda tersebut dianggap telah mengkhianati atau merendahkan makna pertemanan di dalam peergroup.

Kolektivisme ini pula yang sering kali bertanggung jawab terhadap terjadinya perkelahian antara pelajar. Dimana sebenarnya episentrum dari sebuah ‘tawuran’ adalah permasalahan interpersonal (antara individu) yang ditarik ke ranah kolektif. ‘Masalah temen kite, masalah kite semua!’ kurang lebih demikian filosofi yang berlaku. Konflik yang tidak riil bagi mayoritas anggota kelompok tiba-tiba sanggup mengejawantah menjadi sebuah tanggung jawab bersama karena stimulus mikro yang terjadi pada salah satu anggotanya. Pikiran, perasaan, dan aksi menjadi sesuatu yang di shared di dalam  peer group!

Dengan demikian, kebergantungan anak muda Indonesia terhadap media sosial perlu lebih dipahami sebagai manifestasi dari kolektivisme. Aplikasi dan perkembangan teknologi digital bukan merupakan faktor utama yang membuat anak muda kebergantungan terhadap media sosial! Akan tetapi shared  culture-lah yang berperan sebagai motor gerak adopsi media sosial. Disini, teruntai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh kawan Jepang saya; Kei. Yaitu bahwa sebab-musabab dari intensitas perubahan profile picture anak muda dalam media-media digital yang mereka gunakan bukan karena mereka memiliki kerapuhan kepribadian! bukan pula karena mereka tidak memahami batasan dari privacy. Terdapat sebuah eksplanasi kultural dibaliknya yang perlu dipahami terlebih dahulu. Yaitu, dorongan kolektivisme dimana tidak terdapat ranah privat. Sebab segala sesuatu di-share dalam peergroup, tidak ada yang bersifat rahasia. Semakin besar investasi sharing dalam peergroup semakin besar pula keterikatan dan komitmen antar anggota di dalamnya. Globalisasi dan Penguatan Identitas dalam Peergroup

Anak muda millenial kini hidup di sebuah era yang penuh dengan krisis. Krisis alam juga kemanusiaan yang kini sedang melanda mayoritas penghuni bumi mencapai sebuah titik yang sangat mengkhawatirkan. Informasi mengenai berbagai krisis global dan nasional-pun membanjiri gudang kognisi dari seorang anak muda setiap hari. Overload informasi ini berimplikasi secara signifikan terhadap kondisi psikis dan perilaku anak muda.

1410412121737016943
1410412121737016943

Implikasi pertama berdampak pada penguatan identitas dalam peergroup. Anak muda Indonesia memiliki fitrah kolektif yang berbeda dengan anak muda dari negara-negara lain. Fitrah kolektif ini secara otomatis akan mendorong anak muda untuk condong kepada kelompok setiap kali ia menghadapi sebuah ancaman atau ketidaknyamanan. Krisis global, modernitas, serta gaya hidup kompetitif-individualistik merupakan sumber anxiety yang dapat mengemuka dalam diri seorang anak muda.  Untuk mengatasi perasaan cemas dan ketidaknyamanan diri tersebut, seorang anak muda akan melakukan usaha coping atau usaha mental untuk mengintervensi diri secara positif.

Berdasarkan pengamatan saya, coping terhadap urge juga dorongan globalisasi yang melanda anak muda Indonesia adalah dengan membuat lumbung-lumbung support sosial. Lumbung-lumbung pendukung sosial tersebut kerap dikenal dengan istilah komunitas!

Tumbuh kembangnya komunitas merupakan implikasi yang indigenous dan unik dari landscape sosiologis kehidupan anak muda millenial Indonesia. Komunitas merupakan refugee terakhir dari anak muda menghadapi lingkugan sosial yang kian kompetitif, demanding,dan individualistik. Lewat  komunitas seorang anak muda mendapatkan keramahan dan kenyamanan sosial yang mereka butuhkan dalam tahap perkembangan sosial mereka. Saya dapat secara yakin mengatakan bahwa tren tumbuh kembangnya komunitas merupakan gerakan anti-globalisasi dari anak muda millenial di Indonesia.

Di benua lain, sebagaimana testimoni yang saya dapatkan dari beberapa rekan peneliti youth culture di Malaysia, India, Cina hingga Nigeria, anak muda semakin tenggelam dalam kehidupan mandiri. Mandiri sebagaimana saya maksud adalah senang dengan kesendirian. Anak muda di berbagai belahan dunia pada saat anda membaca tulisan ini merasa bahwa ia tidak membutuhkan apa-apa selain mobilephone yang ada digenggamannya dan dirinya sendiri. Ini karena, mobilephone kini tak hanya berfungsi sebagai alat kerja tapi juga alat untuk bersosialisasi. Saya merasa sangat bersyukur karena hal tersebut tidak melanda secara absolut di Nusantara tercinta. Salah satu sebabnya adalah kuatnya filter

budaya di beberapa komunitas anak muda di daerah dan adanya nongkrong culture  yang masih hidup. Kedua hal tersebut akan dibahas lebih lanjut di bab-bab berikutnya dalam tulisan ini.

Bicara lebih lanjut dan mendalam mengenai komunitas, komunitas anak muda di Indonesia tidak pernah mencapai tingkat pertumbuhan yang setinggi sekarang pada dekade –dekade sebelumnya. Kita bisa dapati melalui berbagai rekaman sejarah bahwa terungkapnya Sumpah Pemuda merupakan inovasi dan inisiasi dari komunitas pemuda yang berkumpul pada tahun 1928. Kala itu komunitas pemuda berjamur sebagai refugee perjuangan melawan kolonial dan tempat penggodokan ideologis. Sebab, bangsa kita sedang berevolusi dari konsep nusantara menuju republik, lantas kemudi dari evolusi tersebut dipegang oleh komunitas anak muda. Diantara komunitas yang paling menonjol kala itu adalah Boedi Oetomo dan Serikat Islam. Bung Karno sendiri, founding fathers kita, merupakan jebolan dari komunitas Serikat Islam.

Pada masa pra revolusi dan proklamasi kemerdekaan, tokoh-tokoh pemimpin Indonesia mayoritas datang dari komunitas pemuda. Mereka pun menjadi pemimpin pada usia yang sangat muda, yaitu dibawah usia 40 tahun.  Melangkah maju beberapa abad kemudian, lebih tepatnya pada era 70an kita bias dapat komunitas anak muda bergeliat dengan cepat terutama di panggung kota-kota urban. Pada abad 70an sendiri Indonesia berada di bawah sebuah rezim berbeda, bertajuk Orde Baru. Pada Orde Baru segala diskusi dan wacana ideologis dihentikan, sedangkan fokus utama bangsa bersentra pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.

Dengan demikian, nuansa komunitas yang berkembang pada tahun 70an lebih mengarah kepada komunitas hobby. Pada saat itu televisi, radio, musik dan film layar lebar menjadi pintu masuk bagi Pop Culture barat. Anak mudapun mulai mengembangkan media sosial sendiri yang khas pada zamannya. Media komunikasi itu adalah Radio Orari (Organisasi Amatir Radio). Melalui Radio dan juga Orari anak muda membangun jaringan komunitas yang meluas sesuai kelas sosial mereka. Komunitas tersebut bahkan menciptakan sebuah bahasa sendiri yang disebut dengan bahasa prokem. Bahasa prokem merupakan gabungan dari bahasa betawi dengan bahasa kalangan preman di kota besar.

Radio prambors, di era 70an hingga awal 90an merupakan media yang paling populer bagi anak muda. Radio tersebut berperan besar dalam mempopulerkan bahasa anak muda yang terus berevolusi dari prokem ke bahasa gaul pada awal tahun 90an. Insights penting yang bisa kita tangkap dari perjalanan komunitas anak muda sejak tahun 1928 adalah bahwa anak muda Indonesia memiliki kebutuhan yang teramat tinggi akan ruang interaksi tatap muka langsung. Kebutuhan psikis tersebut merupakan sebuah kebutuhan yang mendasar serta diwariskan dari generasi sebelumnya lewat enkulturasi budaya. Salah satu mindset  terkait ‘komunitisme’ yang bersumber dari pewarisan budaya Jawa adalah ‘mangan ora mangan asal ngumpul’.

Terkait dengan komunitas muda, insights lain yang perlu kita pahami disini adalah pentingnya peran ruang komunitas sebagai penguat identitas. Identitas yang dimaksud merujuk baik kepada identitas pribadi (inner self) begitu pula identitas sosial (outer self). Dalam berbagai perjalanan riset etnografis yang saya lakukan baik di kota besar yang bernuansa urban hingga kota  kecil yang sangat sederhana, saya menemukan bahwa identitas anak muda selalu menjadi isu penting. Di kota besar, saya menemukan bahwa anak muda mulai kehilangan referensi identitas sosial mereka. Seperti di Jakarta, mereka tidak bisa lagi mengidentifikasi diri sebagai bagian dari komunitas suku apapun. Sedangkan kebalikannya, di kota kecil seperti di Garut, identitas sosial menjadi sangat penting. Sedemikian pentingnya hingga identifikasi diri tak lagi merujuk pada lingkup yang luas seperti suku, akan tetapi lingkup mikro seperti kelurahan atau kampung tempat tinggal atau nongkrong. Di luar Garut istilah ‘ASGAR’ (Asli Garut) cukup dikenal masyarakat, sedangkan di dalam Garut sendiri mereka selalu merujuk pada wilayah yang lebih spesifik, yaitu sesuai batasan wilayah administratif.

Di era millenial, makna komunitas menjadi semakin relevan  bagi anak muda karena mereka menjadikannya sebagai ruang untuk mengkonstruksi ulang identitas sosial. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kian hari kita makin sering mendengar kemunculan komunitas yang  menghidupkan kembali unsur-unsur budaya lokal. Di Yogyakarta kita bisa menemukan adanya sebuah band hip-hop berbahasa jawa yaitu Hip-Hop Yogya Foundation, sedangkan di Rangkas Bitung kita bisa menemukan adanya Besut Gank sebuah band hip-hop berbahasa sunda. Hobby sebenarnya hanya sebuah tiket kamuflase bagi anak muda untuk bergabung ke sebuah komunitas. Pada realitasnya, komunitas lebih banyak berperan sebagai ruang eksperimen bagi anak muda untuk membangun ulang identitas sosial mereka.

Identitas diri (inner self) juga merupakan sebuah isu yang penting bagi anak muda yang kerap diabaikan signifikansinya oleh banyak kalangan pengajar dan orang tua. Menurut seorang ahli psikoanalis Erick Erickson, setiap tahap kehidupan manusia harus melewati sebuah krisis identitas diri. Dimana kegagalan dalam melewati tahap krisis tersebut akan mengakibatkan terbentuknya sebuah profil kepribadian yang tidak seimbang dan sehat. Bagi anak muda millenial di Indonesia, tahap krisis identitas diri kini menjadi semakin berat. Beratnya tantangan untuk mendapatkan identitas diri yang utuh tersebut dimotori oleh distraksi atensi yang besar bertajuk social media.

Social media bagi kalangan industri merupakan media yang sangat dinantikan kehadirannya juga perkembangannya. Sebab, melalui social media berbagai brand dan lembaga dapat berkomunikasi secara langsung dengan anak muda. Di tempat lain, data mengenai perilaku juga aspirasi anak muda dapat dengan mudah disedot melalui berbagai update status dan tweet yang mereka lontarkan di media tersebut. Bagi generasi millenial di Indonesia, media sosial telah menjadi bagian dari keseharian mereka untuk dapat melihat perkembangan baru dari teman begitu pula sebaliknya, yaitu men­-share  perkembangan kehidupan diri kepada teman.

Dengan begitu padatnya arus informasi mengenai update diri yang beredar serta dikonsumsi oleh seorang anak muda. Proses transaksi informasi ini tidak lagi berorientasi pada semangat sharing, akan tetapi berevolusi menjadi semangat kompetisi. Yaitu kompetisi dalam menunjukkan eksistensi dan signifikansi jati diri kepada sesama teman. Dalam sebuah riset yang pernah saya lakukan pada kalangan teens wanita di kota urban mengenai pola penggunaan media social mereka. Saya menemukan insights yang cukup mengejutkan, yaitu hilangnya batasan etis dalam upaya kompetisi ‘gaul’ sesama teman.

Kala menjalankan riset tersebut, saya meminta izin kepada para responden, yang mayoritas merupakan anak muda perempuan dari bangku SMP dan SMA, untuk mengakses halaman facebook mereka. Temuan pertama yang saya catat adalah perilaku unik mereka dalam mengubah biodata mereka di facebook, terutama biodata mengenai relationship. Saya beserta teman-teman yang terlibat di riset tersebut menemukan bahwa biodata ini diubah dalam intensitas yang cukup tinggi. Terutama biodata mengenai ‘relationship status’. Lebih jauh dari itu kita menemukan bahwa status hubungan ini merupakan sebuah ‘jabatan’ atau ‘kondisi’ yang memiliki nilai tinggi di mata peer group.

Sedemikian tinggi nilai dari sebuah relationship sampai-sampai anak muda berlomba dalam mengupdate foto dirinya bersama pacar dalam setting  yang sebenarnya  dapat menimbulkan masalah bagi kalangan pengajar juga orang tua. Salah satunya adalah foto bersama dengan pacar di sebuah kamar penginapan. Kala menjalankan riset mengenai female teens tersebut kita terkejut dengan tingkat public disclosure yang ditampilkan adik-adik kita. Sampai satu titik tertentu saya dan tim menanyakan tentang

foto-foto yang mereka tampilkan di facebook. Dengan santai para anak muda yang saat itu menjadi responden memperbolehkan tim peneliti untuk mengambil foto-foto tersebut tanpa rasa khawatir. Saat itu saya menyadari bahwa social media telah berubah fungsi menjadi media kompetisi sosial. Dimana reward sosial akan diberikan kepada siapa yang berhasil mendapatkan ‘like’ atau ‘retweet’ terbanyak. Hal ini dapat menjadi sebuah masalah serius bagi para orang tua.

Masalah yang saya maksud disini adalah bahwa anak muda akan semakin tergiring jauh dari eksplorasi jati diri mereka. Sebab makna dukungan, friends dan ‘like’ dari peergroup menjadi sangat berbeda di ruang digital dibandingkan dengan di kehidupan nyata. Oleh karena itu, dalam banyak kesempatan sebagai seorang konsultan marketing juga seorang akademisi, saya selalu mensupport gerakan untuk mengembalikan aktivitas anak muda ke setting offline, yaitu di ruang publik!

Kembali kepada permasalahan identitas dan relasinya kepada komunitas. Identitas diri atau jati diri merupakan salah satu komponen kepribadian yang penting untuk dimiliki seorang anak muda. Identitas diri terbentuk pada masa-masa krusial yaitu remaja dan dewasa muda. Dengan terbentuknya identitas diri yang mengkristal serta seimbang, seorang anak muda dapat dengan mudah memilih dan memfilter berbagai informasi juga permasalahan yang ia harus hadapi. Sementara itu, sebaliknya, tanpa jati diri yang kuat seorang anak muda akan dengan mudah terbawa arus sebuah informasi dan permasalahan. Hal ini akan berimplikasi terhadap munculnya kegagalan coping (cara mengatasi) emosi seorang anak muda ketika dilanda sebuah masalah. Oleh karena itu, saya selalu menanggapi dengan sangat serius populernya istilah ‘Galau’ di kalangan muda. Sebab hal tersebut sebenarnya merupakan sebuah indikator sosio-psikologis akan  kondisi anak muda kita.

Kandidat Doktor dalam Bidang Psikologi

Founder Youth Laboratory Indonesia



Generasi Millenial Indonesia, Generasi Paling Religius?

Indonesian Female Youth: Fashion, Beauty, and Bloggers

Indigenousity of Indonesian Youth Trends from Java

Masa Depan dan Potensi Segmen ‘Alay’

Pasar Santa: Eklusivitas-Inklusivitas Anak Muda Millenial?

Dampak Gadget Bagi Anak dan Tips Untuk Orang Tua

Youthlab Presentation

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun