Mohon tunggu...
Muhammad Faisal
Muhammad Faisal Mohon Tunggu... profesional -

Penulis: Muhammad Faisal Pendiri Youth Laboratory Indonesia(Biro riset pertama di Indonesia yang meneliti tentang Gen XYZ)| Ph.D dalam bidang Psikologi Sosial| Penulis buku tentang kultur pemuda & teori generasi|Co-writer buku Generasi Langgas Millenials Indonesia|{enulis buku Generasi Phi:Memahami Milenial Pengubah Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pasar Santa: Eklusivitas-Inklusivitas Anak Muda Millenial?

10 Desember 2014   20:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:36 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418275700277672654

Pada saat saya pertama kali terjun di lapangan untuk melakukan riset etnografis terhadap anak muda millenial pada tahun 2009, saya melibatkan beberapa mahasiswa magang untuk membantu saya secara teknis di lapangan. Salah satu diantara mahasiswa magang tersebut adalah Edu, seorang pemuda di awal usia 20 yang gemar terhadap fashion serta berstatus sebagai drummer sebuah band blues terkemuka. Ia memberi masukan kepada saya dengan mengatakan bahwa ‘bagi anak muda Mas, prinsipnya makin susah kita masuk atau dapatkan, maka hal itu semakin tinggi values atau nilai keren-nya’. Saya menerima saran Edu dan sejak saat itu saya selalu menggunakan perspektif Edu sebagai indikator keren atau tidaknya sebuah tren atau komunitas. Satu hal yang menarik saat ini adalah bahwa tesis “eklusivitas” dari Edu diuji oleh berbagai fenomena kekinian, diantaranya adalah sikap inklusif dari kaum ekslusif.

Inklusivitas kaum Ekslusif

Saat ini tengah muncul sebuah tren anak muda yang sangat menarik untuk diteliti secara sosiologis maupun psikologis. Tren tersebut muncul di Jakarta dan menurut banyak pendapat terjadi secara aksidental serta organik.  Di bilagan sebuah pasar di Jakarta Selatan kini muncul sebuah tempat nongkrong baru bagi anak muda. Uniknya, tempat nongkrong tersebut terletak di lantai atas gedung pasar Santa, yaitu tempat dimana ibu rumah tangga  biasa berbelanja kebutuhan dapur, seperti daging dan sayur. Di lantai tiga tersebut kini telah dibuka puluhan ruko stylish yang menyediakan berbagai aitem khas hipster seperti vinyl, vintage store, vape, buku serta album indie, hingga tempat nongkrong ngopi sampai fashion outlet. filosofi yang mengemuka di sini adalah “Ketika mall sudah terlalu mainstream”.

Secara historik, kebangkitan pasar anak muda di Santa dipelopori oleh café ABCD. Pada tahun 2011 ruko di lantai tiga pasar Santa masih tidak berpenghuni dan diminati para pedagang. Namun, lambat laun anak muda mulai berdatangan untuk nongkrong disana. Muncullah sebuah segmen konsumen baru yang disambut oleh beberapa wirausahawan muda yang kreatif. Bagi saya, hal ini sekali lagi memperkuat hipotesis bahwa “Nonkrong culture”anak muda Indonesia berbeda dari anak muda di benua asia lainnya. Dimana media sosial tidak menurunkan intensitas pertemuan tatap muka, namun malah meningkatkannya.

Permasalahan Kelas Sosial

“Nongkrong adalah kuncinya!” kurang lebih kalimat itulah yang sering kali saya lontarkan kepada para brand manager atau teman-teman di Agensi kreatif untuk strategi youth marketing yang hendak mereka rencanakan. Karena prinsip-prinsip nongkrong sejak dekade 70-an tidak pernah berubah, hanya berganti wajah serta device media yang digunakan sebagai alat komunikasi. Bila di tahun 70-an radio ORARI adalah penyambung pesan, kini terdapat media sosial. Hanya saja, permasalahan yang mengemuka kini adalah adanya gap sosial-ekonomi yang tinggi. Yaitu tumbuh kembangnya kelas menengah sejak 3 tahun terakhir. Nongkrong menjadi semakin tersegmentasi!

Tumbuhnya kelas menengah ternyata sangat berimplikasi terhadap dispersi tren serta komunitas anak muda. Salah satu contohnya adalah berkembangnya ideologi hipster yang dengan cepat kini mengejawantah dalam bentuk lifestyle, art, musik dan fashion. Hipster tumbuh kembang karena kelas menengah yang membengkak, kelas menengah turut tersedot dalam pusara tren serta paham worldview yang sebenarya merupakan konsumsi elit kelas ekonomi atas. Pada akhirnya terjadi sebuah gap yang besar dimana kelas bawah hanya bisa menonton. Hal tersebut dapat ditemukan dalam berbagai blog yang menghujat tentang kaum hipster.

Konten Kalangan Pinggiran

Kita mundur sedikit beberapa dekade ke belakang, kita bisa dapati satu kelompok pemuda yang berprofesi sebagaistand up comedian yang kemudian dikenal secara nasional lewat film-film mereka. Kelompok pemuda tersebut menyebut diri mereka ‘Warung Kopi’. Formasi utama mereka terdiri dari Dono-Kasino dan Indro. Mereka yang merasakan masa muda di dekade 70 akhir pasti tau bahwa ‘Warkop’ (singkatan Warung Kopi) sangat bertanggung jawab terhadap kemunculan beberapa bahasa ‘slang’ anak muda serta tren baru pada masanya. Sebut saja istilah ‘gengsi’ dan ‘keki’ yang pertama kali mengemuka dari Film Warkop berjudul ‘Gengsi Donk’.

Mengapa kiranya saya perlu mengaitkan tema tulisan ini (tentang Ekslusivitas-Inklusivitas) dengan ‘Warkop’. Jawabnya, karena ‘Warkop’ merupakan sebuah icon tren yang tercatat dalam sejarah berhasil untuk menjadi jembatan antara kelas sosial. ‘Warkop’ banyak memproduksi tren serta konten yang dikonsumsi kalangan ‘hipster’ di zamannya, namun pada saat yang bersamaan mereka menarik beberapa aspirasi kelas bawah untuk dijadikan konsumsi kelas menengah dan atas. Diantaranya adalah lagu Dangdut yang mereka kemas sedemikian rupa sehingga dapat dimainkan kalangan menengah keatas.

Nama kelompok mereka sendiri, yaitu ‘Warkop’ merepresentasikan kelompok bawah, padahal mereka merupakan kelompok lawak muda yang kerap bersiaran di Prambors. Yaitu sebuah radio yang jelas merupakan konsumsi kelas menengah keatas di Jakarta. Nama ‘Warkop’ seakan menjadi sindiran sosial bagi masyarakat yang pada saat itu sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat di bawah bendera pemerintah orde baru.  ‘Warkop’ sukses melakukan misinya untuk menjadi bridge sosial pada masanya. Oleh karena itu, hingga kini pun mereka masih tetap melegenda.

Dengan munculnya sebuah indikasi sosial baru di ‘Pasar Santa’ saya hanya bisa berharap dan tentunya berkeyakinan bahwa akan muncul sosok-sosok muda baru yang lebih inklusif dalam menerjemahkan tren. Dimana ‘nongkrong’ bisa kembali menjadi ranah publik dan tidak tersegmentasi. Mungkin terdengar utopis, namun tak ada salahnya untuk berharap bahwa anak muda Indonesia kembali bersatu lewat nongkrong, dimana budaya berbaur dan saling mengisi. Hidup pemuda-pemudi Indonesia!

Muhammad Faisal

Kandidat Doktor dalam Bidang Psikologi

Founder Youth Laboratory Indonesia

Generasi Millenial Indonesia, Generasi Paling Religius?

Indonesian Female Youth: Fashion, Beauty, and Bloggers

Indigenousity of Indonesian Youth Trends from Java

Masa Depan dan Potensi Segmen ‘Alay’

Keunikan Generasi Millenial Indonesia (Kolektivitas, Identitas, dan Media Sosial)

Dampak Gadget Bagi Anak dan Tips Untuk Orang Tua

Youthlab Presentation



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun