Mohon tunggu...
Paisal Amri
Paisal Amri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

BELAJAR untuk tidak menjadi orang gagal, pemilik akun twitter @paisal71 dan blog di www.faisalamri.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di Tangan Teman Karibku, Matematika Menjadi Jinak...

5 Februari 2014   22:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:07 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

UNTUK urusan perangkat mengajar, temanku ini selalu menjadi orang yang tercepat mengumpulkan.“Saya mengerjakan perangkat ini ketika sedang liburan pak”, jawabnya singkat ketika satu waktu aku menanyakan perihal bila mengerjakan pedoman dan langkah-langkah guru untuk masuk kekelas tersebut. Melihat kepiawaian dan kecekatan teman karibku ini, sepertinya tidak banyak membuat teman di sekolahku iri, apalagi sakit hati.

Salut aku tak sampai disitu. Pelajaran Matematika kerap menjadi momokmenakutkan dikalangan siswa, namun tidak di tangan teman karibku ini. Entah menggunakan metode apa, sehingga label mata pelajaran angker dan menakutkan itu malah menjadi yang disenangi oleh siswa. Pernyataan ini bukan berarti, siswa selalu tuntas dengan Ibu beranak satu ini. Bukan itu, melainkan yang ingin aku sampaikan adalah Ibu ini berhasil membuat para siswanya bersemangat dan punya motivasi. Hal ini terlihat dari semangat mereka untuk belajar. Muncul kesan, pelajaran Matematika bukanlah pelajaran yang harus ditakuti, melainkan mata pelajaran yang harus dihadapi dan dipahami, semua itu bisa hanya dengan satu cara yaitu “mau berusaha”, kata ibu berbadan mungil ini lagi.

Patut di apresiasi, kemampuan teman karibku untuk menimbulkan semangat belajar di kalangan siswa kami saja sudah lebih dari cukup. Kenapa ?, karena tempat kami mengajar adalah sekolah non titel, seperti sekolah RSBI (almarhum) misalnya, sekolah favorit atau sekolah cluster sebutan baru bagi sekolah unggulan saat ini. Intinya saya mau menyampaikan, di sekolah kami satu rombongan belajar terdiri dari 44 – 46 siswa. Yang jika dilihat dari inputnya mulai dari ekonomi sampai dengan nilai akademiknya secara umum berasal dari golongan menengah kebawah.

Hal ini semakin parah, ketika tak kuat lagi dengan beragamnya intimidasi yang berkepanjangan, akhirnya kepala sekolah mengambil kebijakan yang tak popular yakni menerima seluruh siswa yang berasal dari perkampungan dimana sekolah ini berdiri. Pendek cerita, dari total siswa yang diterima, jalur online dengan offline berbagi rata. Penerimaan yang tidak adil dan terpaksa dilakukan ini telah berjalandua tahun. Namun celakanya, sampai detik ini tak bisa pula mengurai berbagai persoalan yang ada. Bagaimana dengan istilah kuota 20 % yang dibunyikan dalam tatib PPDB?, maaf itu menjadi wilayah abu-abu. Lalu…????, no komen deh.

Mudah ditebak, seperti apa kwalitas sekolah jika inputnya seperti yang disebutkan di atas. Tak ayal, selama ini cerita yang menjadi buah bibir para guru pada umumnya tidak jauh dari keluhanpersoalansemangat belajar siswa yang kurang, kemampuan siswa yang di bawah rata-rata, siswa sering tidak masuk, cabut, sistim penerimaan siswa baru yang los control, siswa yang sering terlambat dan lain sebagainya. Tidak ada yang salah jika kita para guru membicarakan tentang kekurangan siswa, asal diteruskan dengan pemikiran bernas untuk merubahnya dengan cara mencari formula dan strategi yang pas sesuai dengan kemampuan siswa tersebut. Inilah yang dilakukan oleh teman karibku, berkat ketunakannya, ia sanggup mendisain sendiri pola mengajarnya. Misalnya dengan memberikan waktu lebih kepada siswa yang membutuhkannya. Ini ia lakukan dengan tulus. Berkat aksinya ini, banyak siswa merasa terbantu dan terselamatkan terutama dari mental dan ketidaknyamanan siswa ketika berhadapan dengan mata pelajaran sulit ini.

Sangat disayangkan, hanya sedikit diantara kita yang menyinggung perihal, kenapa?, dan apa yang melatarbelakangi siswa melakukan hal-hal yang tidak mau turut dan penurut sesuai yang diharapkan oleh kebanyakan guru. Benar, tidak semua itu menjadi tanggung jawab guru, melainkan kita tidak bisa mengkesampingkan peran orang tua siswa, komite sekolah dan masyarakat. Semua itu punya kontribusi sesuai dengan porsinya. Demikian pula halnya dengan sistim dan kurikulum itu sendiri.

Tak bisa dipungkiri, ternyata banyak diantara kita yang belum memahami bahwa, para guru punya andil besar dalam persoalan yang dihadapi siswa tersebut. Dilain pihak, era bebas berpendapat tidak semua berdampak positif, melainkan juga banyak sisi negatifnya. Oleh karenanya, para guru terkesan gamang, gagap, sehingga muncul kesan banyak para guru mencari aman. Sikap (sebagian guru) mencari aman ini dipicu oleh banyaknya persoalan pendidikan yang muncul kepermukaan.Diakui, terkadang persoalan sepele bisa menjadi sebuah peristiwa yang luar biasa. Hal ini terjadi karena kepiawaian awak media dalam mengungkap. Tak heran lagi, kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang  telah banyak melahirkan para orang tua menjadi aktifis dadakan. Ini tantangan dan buah demokrasi yang tak mungkin di elakan.

Untuk teman karibku, lambat laun saya yakin orang akan terinspirasi dengan strategi dan cara mu. Teruslah menjadi motivator siswa dan kembangkan lagi imajinasimu untuk jauh lebih baik. Kamu manusia biasa, tentu mempunyai kelemahan di sana sini. Namun, jujur saja, aku tidak tertarik membicarakan kelemahanmu itu. Karena aku yakin, tidak perlu menunggu waktu lama, kelak kamu akan mengetahui sendiri apa yang harus kamu perbaiki. Salam, dan sukses untukmu sobat…..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun