Mohon tunggu...
Paisal Amri
Paisal Amri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

BELAJAR untuk tidak menjadi orang gagal, pemilik akun twitter @paisal71 dan blog di www.faisalamri.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ekspresi Siswaku, Hiasi Dinding Sekolah

15 Maret 2014   05:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:55 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru yang galak atau guru yang disiplin di sebuah sekolah biasanya menjadi bincangan dan omelan kalangansiswa. Tak ayal, untuk melampiaskan amarahnya berbagai hal dilakukan mereka, seperti menulis kata-kata jorok di dinding toilet sekolah, ada juga yang mengekspresikan kemarahannya melalui lukisan atau gambar-gambar yang seronok. Menyikapi hal ini berbagai argument muncul. Ada yang berpendapat, makanya jadi guru harus bisa ngertiin siswa, jangan sering marah dan sok-sok hebat, selain itu ada pula yang berpendapat ekspresi yang dituangkan siswa melalui berbagai media itu perbuatan iseng belaka. Untuk itu, hal yang demikian tidak perlu dipersoalkan, apalagi mencari tau keberadaan siapa dan atas dasar apa mereka membuat kata-kata yang tak terpuji itu. Sehingga kata-kata jorok dan gambar yang seronok itu biasanya selalu diselesaikan oleh tukang cat dengan kuasnya.

Dua hari yang lalu, di sekolah tempat aku mengajar heboh. Apa lacur?, di dinding kelas, di pintu kelas dan dibeberapa tiang penyangga terdapat gambar-gambar alat kelamin laki-laki dan perempuan. Ukuran gambarpun beragam. Setelah di teliti di dinding-dinding kelas lain yang berdekatan, ternyata beberapa gambar dengan adegan menyerupai orang berhubungan badan. Persoalan menjadi runyam ketika kami menemui gambar kelamin laki-laki berukuran jumbo, lalu di bawah gambar tersebut terdapat kata-kata “Burung Polan” (bukan nama sebenarnya).

Luar biasa, Polan adalah nama salah satu guru di sekolah kami. Tidak perlu mengernyitkan jidat, sudah bisa dipastikan, di sekolah kami tidak ada siswa atau dua guru yang bernama Polan. Tidak hanya itu, yang membuat kami beberapa orang guru yang mengetahui peristiwa ini tak habis pikir, apa sebab?, karena sosok Polan adalah seorang guru yang tidak banyak bicara, guru yang pelit marah, apalagi menghukum siswa secara berlebihan. Pertanyaan besar inilah yang menggelayut di benak kami. Menyikapi ini, beberapa orang rekanku di kesiswaan bersepakat, persoalan ini harus dituntaskan, dengan mencari tau siapa siswa yang telah berbuat sekeji ini.

Hanya berselang beberapa menit, guru yang bernama Polan menemuiku dan berharap persoalan ini bisa dituntaskan. Teman karibku (Polan) yang selama ini kukenal tegar, kali ini ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dalam pertemuan kami berdua yang tak sampai 2 menit itu, beberapa kali ia menggerutu, “apa yang salah dengan saya, apa yang telah saya perbuat pada siswa, sehingga mereka melampiaskan amarahnya dengan kata-kata yang tak pantas itu”, kata teman karibku itu dengan tatapan hampa. Mendengar harapan dan pemaparan teman karibku itu, aku jawab, “sabar ya Pak, saya akan coba usut dengan beberapa rekan yang lain.


Aku pastikan, teman karibku ini tak mengetahui, kalau seminggu yang lalu aku baru saja menelan kekecewaan yang luar biasa. Kekecewaan besar itu adalah tidak dianggapnya taruhan Futsal Satu Juta Rupiah antara siswa kelas XII melawan Kelas XI sebagai persoalan serius. Padahal untuk menyelesaikan persoalan ini memakan waktu yang tidak sebentar. Kesimpulannya, sekolah hanya memberikan pengarahan pada siswa untuk tidak melakukan hal yang sama. Aku yakini, kebijakan ini diambil sekolah lantaran kelas XII banyak terlibat, sehingga menjatuhkan sangsi sepertinya menjadi penting untuk dipikirkan. Diakui, seminggu setelah kejadian ini siswa kelas XII akan menghadapi ujianakhir sekolah. Atas dasar inilah, sekolah menyepakati untuk memberikan ketenangan kepada peserta didik untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi ujian-ujian tersebut. Lebih dari itu, sekolah mengisyaratkan pada orang tua untuk lebih memperhatikan dan mengawasi anaknya di luar jam sekolah.

Celakanya, mendengarpemaparan pihak sekolah terhadap pelanggaran yang dilakukan anaknya tersebut, ternyata disambut dingin oleh kebanyakan orang tua, ada kesan mereka para orang tua tidak terlalu mempersoalkan kegiatan anaknya yang taruhan itu. Jadilah, pemanggilan orang tua yang juga dihadiri Ibu kepala sekolah, wakil kepala sekolah urusan kesiswaan, wali kelas, dan 27 siswa yang terlibat di sebuah rungan khusus tidak lebih dari pertemuan biasa. Buktinya, keesokan harinya, siswa kelas XI kembali menantang siswa kelas XII untuk kembali bertarung di lapangan Futsal kebanggaan mereka. Mendengar ini, aku hanya bisa mengurut dadaku.

Di satu sisi, aku mengerti bagaimana perasaan teman karibku si Polan. Ia benar-benar terpukul dengan peristiwa namanya yang dicatut siswa. Aku tak mau mengecewakannya. Aku coba bermain cantik untuk menelusuri persoalan ini. Kali ini aku bekerja seperti detektif ulung. Satu yang aku pikirkan, berusaha dengan berbagai cara untuk menutupi persoalan gambar alat kelamin teman karibku ini untuk tidak diketahui oleh siswa yang lain. Bagiku, diketahui oleh siswa lain sama halnya dengan mempermalukan teman karibku itu sendiri. Singkat cerita, akhirnya 1 dari 6 siswa yang terlibat membuat gambar yang tak senonoh di dinding kelas dan tiang penyangga itu mengakui bahwa ia yang membuat kata-kata “Burung Polan” itu.

Mendengar pengakuan siswaku itu, beberapa saat aku terdiam, tanpa kutanya lebih lanjut, aku langsung mengatakan pada siswaku itu, “besok kita lanjutkan, nak. Sekarang kamu masuk kelas dan belajar seperti biasa. Mendengar ucapanku itu, aku melihat siswaku bingung dan ianya seolah-olah tak percaya dengan ucapanku. Melihat siswaku yang tak jua bangkit dari duduknya, kutegaskan kembali, “silakan masuk kelas dan belajar”, kataku singkat.

Jujur saja, dari pengakuannya siswaku itu, giliran aku yang berpikir keras. Di ujung tulisan ini aku belum menemui kesimpulan, apa yang harus aku lakukan pada ke enam siswaku itu besok pagi. Bismillah, semoga pintu hatiku terbuka malam ini, sehingga pikiran bernas dan cerdas membawaku untuk bisa menyelesaikan benang yang terlanjur kusut ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun