Tapi kenapa kamu tak kunjung mengerti juga? Kita sudah tamat. Tidak bisa bertatap. Untuk apa kamu selalu kirimkan rindu. Kangen itu, untuk apa? Tidakkah kamu tahu, aku sudah cukup menderita. Aku akan ingat. Aku akan selalu ingat kamu meski tak kau kirimkan kangen tiap waktu.
Pikir saja. Bagaimana bisa seseorang melupakan obat sekaligus racun dalam hidupnya. Tanpa kangen pun, kamu memang pantas diingat. Meski ingatan tentangmu kadang membuatku luka. Tak apa. Jadi tolong mengertilah! Lukaku karena racunmu itu sudah banyak. Jangan kau tambahi dengan kangen-kangen yang makin hari makin tak tau diri itu. Jangan!
Ketukan kangenmu itu makin berisik. Aku semakin berniat untuk mengusirnya. Kuintip lewat jendela, tak ada siapa-siapa. Tapi ketukan itu terus ada. Kangenmu yang menjelma angin itu masih ada.
Pergi sana! Bilang ke Tuanmu, hubungannya denganku telah tamat. Tak perlu lagi kau datang. Pergi! Bilang ke Tuanmu, sadar dirilah, dunianya denganku telah berbeda. Jangan mengirimiku kangen tiap waktu kalau ia tak bisa datang bertanggung jawab!
Ketukan pintu berhenti. Dari belakang jendela tempatku berdiri, tanaman di depan rumah terlihat terhembus angin. Agak kencang. Sepertinya kangen itu telah pergi dengan segala kejengkelannya terhadap perkataanku. Ya, semoga dengan begitu ia tak akan datang lagi. Tuannya semoga tahu diri.
Tapi dasar sialan! Kangen itu bukannya pergi malah masuk ke kamar. Aku lupa tak menutup jendela. Saat kubuka laci meja, kangen itu tertawa. Aku sontak menutup kasar. Tak jadi mengambil barang-barang kenangan denganmu.
Jangan bakar, Is! Suara kangenmu itu sangat mirip denganmu. Tapi tahu dari mana dia kalau aku hendak membakar barang kita. Tahu dari mana kalau sudah kusiapkan korek api, minyak tanah, tong alumunium besar, masker penghalang debu.
Kamu bakar pun akan sia-sia. Jadi jangan! Aku tak mempedulikan omongannya. Kuangkat kardus dalam laci. Kardus barang-barang kenangan kita. Kumasukkan kardus itu dalam tong yang sudah kusiapkan di belakang rumah. Masker sudah terpasang, korek sudah ditangan. Pada hitungan ketiga akan kumasukkan minyak tanah dan korek ke dalam tong. Is, jangan! Kangenmu itu terdengar memelas. Tong itu sudah penuh api. Kardus barang-barang kenangan dengamu sudah jadi debu. Dan, tiba-tiba gantungan baju berjatuhan. Aku tahu, kangenmu pergi dan sengaja menabraknya. Kangenmu itu kecewa, Ji. Kuharap kamu juga begitu.
Kuharap juga aku akan lega. Tapi entah, rasanya sama saja. Tak ada barang-barang kenangan. Tak ada kangenmu yang berisik membuat ketukan. Yang ada hanya sesak yang sama saat kangenmu datang. Ingatan yang sama. Kenangan yang sama. Dan kamu yang masih Aji. Tak ada yang berbeda setelah barang-barang kenangan itu lenyap. Aku masih dihujam sesak. Bayang-bayangmu menertawakan kebingunganku. Aku tak mengerti. Yang aku rasa, sekarang aku sedang kangen kamu saja. Sedang ingat. Sangat ingat.
Apa ini maksud dari kesia-siaan? Ucapan kangenmu ternyata benar, Ji. Sia-sia saja aku membakar barang-barang kenangan kita. Sia-sia saja mengusir kangenmu dan membuatnya kecewa. Karena tanpa mereka. Tanpa kangenmu yang menjelma jadi angin itu. Tanpa barang-barang kenangan yang sekarang sudah jadi debu. Aku tetap kangen kamu.
Barang kenangan sudah dibakar pun, kangen itu tetap abadi. Kangen yang kamu kirimkan ternyata abadi, Ji. Dan luka-lukaku karenanya juga akan sama--mereka akan tetap abadi.