Seorang mahasiswa bernama Layla kuliah di salah satu kampus swasta favorit di Jogja. Ia berasal dari pulau seberang timur pulau Jawa. Sekarang ini, ia baru menginjak semester tiga. Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan mahasiswa-mahasiswi Jogja bahwa mahasiswi di kampus Layla terkenal sangat fasionable karena banyak mahasiswi di kampusnya berdandan ala model. Pada awal kuliah, Layla belum menjadi model-model kampus karena memang belum mengenal yang namanya dunia fashion. Tetapi karena lingkungan dan godaan iklan dari para selebriti di medsos (media sosial); ia pun akhirnya terjerumus. Gaya pakian Layla pun berubah menjadi fasionable nan glamor (mewah).Â
Padahal, orang tuanya hanya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gaji bulanan mereka sebenarnya hanya cukup menunjang kehidupan Layla untuk bayar kos dan biaya makan serta kebutuhan standar lainnya. Apalagi salah satu adik Layla baru saja masuk kuliah di salah satu kampus swasta di Malang, yang biaya kuliahnya tidak murah walau tidak semahal Layla. Sejak semester tiga itu, orang tua Layla di kampung sudah mulai resah dengan sikap Layla yang mulai minta tambahan kiriman setiap bulan dengan alasan semakin banyak kebutuhan kampus. Tentu saja karena kampus Layla favorit, orang tuanya berpikir positif saja (positive thinking). Meskipun gegara kebutuhan Layla tersebut, jatah kiriman adiknya kemudian di pangkas dari yang sebenarnya 1 juta menjadi 700rb saja perbulan.
Tuntutan trendi fashion yang sering berubah-ubah membuat kebutuhan uang Layla semakin banyak. Lambat laun kiriman dari orang tua Layla yang sudah dinaikan tersebut, sudah tidak cukup lagi menopang gaya glamor pakiannya. Beruntungnya, di saat galau fashion seperti itu Layla berkenalan dengan seorang cowok "tajir" anak semester lima. Namanya Valir. Ia adalah anak pengusaha batubara di pulau seberang barat pulau Jawa. Beberapa lama kemudian, Layla pun jadian (berpacaran) dengan Valir dan merekapun memulai petualangan cinta mereka. Awal-awal pacaran dijalanin dengan normal saja, hingga semuanya kacau ketika Layla mulai menunjukkan hasrat besarnya pada dunia pakian glamor. Layla kemudian semakin sering berbelanja pakian-pakian mahal. Valir pun lambat laun menjadi bank berjalan bagi Layla.
Sadar bahwa dompetnya terus dikeruk Layla, Valir kemudian memutuskan hubungan percintaan tersebut. Seperti kena kutukan (atau mungkin keberuntungan?) Semesta, Layla terus gonta-ganti pasangan dan setiap kisah cintanya tidak pernah bertahan lama. Yah, bagaimana mungkin bertahan kalau Layla menjalani hubungan hanya untuk keuntungan pribadinya?! Layla yang berasal jauh dari seberang timur pulau Jawa itu sudah menjelma menjadi sosok perempuan matre. Tampaknya, ia sudah benar-benar terjerembab dalam kubang glamorisme. Tanggung jawabnya sebagai civitas akademica (masyarakat akademis=mahasiswa) seperti kerja tugas kampus sudah dilupakannya, bahkan sudah sering absen kuliah. Pada suatu titik tertentu yang mana teman-teman angkatannya wisuda, Layla pun sadar keadaannya yang rentan dan terpuruk. Ia sangat galau dan frustasi karena pilihan hidup yang ia jalani selama ini. Sudah kuliahnya terbengkelai, cerita cintanya pun tidak karuan.
Cara hidup Layla jelas menggambarkan hidup yang hipokrit dan pragmatis, penuh dengan kepura-puraan dan sarat (penuh dengan; mengandung) kepentingan pribadi. Kepura-puraan Layla sangat tampak pada gaya busananya yang berubah menjadi lebih fasionable dan glamor, padahal orang tuanya hanyalah PNS. Gaji orang tuanya sebagai abdi negara hanya cukup untuk kebutuhan kuliah dan hidup Layla. Artinya, keadaan orang tuanya tersebut tidak memungkinkan untuk mendukung gaya mewah Layla.
Cara hidup hipokrit yang ditunjukan Layla mengajari kita dua hal penting: pertama, perbuatlah sesuatu hal yang sesuai dengan kemampuan kita. Pada konteks ini, kita akan benar-benar mengamini sentilan alm. Bob Sadino: bergayalah sesuai isi dompetmu.[1] Ini artinya kita tidak boleh sekadar bergaya mewah hanya karena tuntutan keinginan belaka, tetapi juga menurut kemampuan ekonomi kita. Â
Kedua, sudah semestinya kita hidup secara realistis yakni hidup yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Kalau kita pernah bersentuhan dengan pemikiran Aristoteles (384-322 SM), dalam pembicaraannya tentang kebahagiaan ia mengutarakan konsep hidup realistis: selalu berani mengambil keputusan, tetapi tidak boleh gegabah. Berbagi rejeki dengan orang lain, tetapi tidak boleh boros.[2] Layla sudah berani mengambil keputusan terhadap pilihan hidup, tetapi secara gegabah (tidak pikir panjang). Ia juga memaksakan diri hidup mewah padahal ia tidak mampu. Hal ini berarti, sudah sebaiknya dalam menjalani hidup kita selalu berpacu pada keadaan, yakni apakah kalau kita melakukan sesuatu pada saat ini di dukung oleh keadaan kita. Begitu pula dengan kebutuhan, apakah yang kita lakukan karena kita benar-benar membutuhkannya?Â
Sementara itu, cara hidup Layla yang sarat kepentingan pribadi, nyata dalam hubungan asmaranya dengan Valir yang mana menjadikan pacarnya itu sebagai bank berjalan. Tentu saja untuk memenuhi kebutuhan fashion glamornya. Cara hidup pragmatis seperti yang ditunjukan Layla memberi kita pelajaran penting bahwa segala macam pilihan hidup yang kita jalani sebaiknya dipikirkan dan direnungkan secara bijak. Perlu sekiranya untuk selalu menimbang baik buruk dan untung ruginya.
Secara sederhana dapat dikatakan, jika kita menjalani hidup bersama orang lain atau hidup bersosial hanya untuk memenuhi keuntungan pribadi, maka itu tidak akan bertahan lama atau sementara saja. Jangan lupa bahwa semua hal yang bersifat semu (tipu muslihat) seperti Layla yang kelihatan mencintai Valir, padahal tipu muslihat untuk memenuhi kebutuhan pakian mewahnya; pasti tidak akan langgeng.
Jika diperhatikan, cara hidup hipokrit dan pragmatis sebagaimana yang menjadi pilihan hidup Layla, telah mengorbankan dirinya sendiri dan orang lain. Orang tua, adik hingga pacar-pacar Layla menjadi korban dari ambisi Layla untuk selalu bergaya bak model Victoria Secret. Di sisi lain, Layla juga menjadi korban dari pilihan hidup yang ia jalani itu. Kuliah dan kisah cintanya menjadi berantakan.