Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Geotermal Poco Leok (Adat dan Hak Ulayat)

9 Januari 2025   10:52 Diperbarui: 9 Januari 2025   10:52 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://jatam.org/id

Sebagai bagian dari bumi Indonesia yang konon diberkahi kekayaan alam, bumi Flores juga memiliki kekayaan alam melimpah. Menjadi salah satu wilayah yang berada pada cincin api (ring of fire), pulau Flores dikaruniai potensi geotermal yang sangat menjanjikan. Dilansir dari kompas.com potensi energi bersih geotermal Flores mencapai 1.000 MW atau 1 GW. Inilah alasan logis pada tahun 2017 Pemerintah Pusat menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi.

Secara kebetulan tanah Manggarai terberikan potensi energi panas bumi terbesar.Berdasarkan hasil eksplorasi yang dilakukan pemerintah pusat sejak tahun 1980an, maka ditemukanlah titik potensial yakni PLTP Ulumbu yang sejak 2011 mulai beroperasi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik Kabupaten Manggarai dan sekitarnya. Sebagaimana diketahui bersama, energi panas bumi yang dimanfaatkan PLTP Ulumbu existing sebesar 10 MW (2x5 MW) dengan cadangan 30-40 MW.

Di dalam perjalanannya kebutuhan listrik wilayah Manggarai khususnya dan Flores umumnya, semakin meningkat sehingga kebutuhan listrik kian bertambah. Beruntungnya Poco Leok menjawab kebutuhan tersebut. Hasil eksplorasi menemukan bahwa Poco Leok memiliki potensi 100 MW. Dalam perencanaan pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 (2x20) Poco Leok, akan diupayakan memanfaatkan 40MW dengan cadangan 50-60 MW. Apabila Unit 5-6 Poco Leok telah dioperasikan, maka daya listrik yang dihasilkan dari energi bersih panas bumi sebesar 50MW. Ini artinya, penyaluran energi bersih Kabupaten Manggarai dan sekitarnya dapat terpenuhi.

Namun demikian, usaha-usaha memajukan masyarakat melalui pembangunan-pembangunan negara seperti halnya geotermal Poco Leok tidaklah selalu berjalan mulus. Gejolak sosial sudah tentu menjadi tantangan di lapangan. Kelompok-kelompok kontra pembangunan negara melakukan agitasi dan propaganda kepada masyarakat. Akibatnya penolakan terhadap geotermal yang notabene Proyek Strategis Nasional (PSN) kerap kali terjadi. Padahal, pihak PLN (Persero) selaku pelasana proyek telah menempuh prosedur adat dan aturan.

Terkait pendekatan adat, PLN telah melakukan dua prosedur adat Manggarai yang amat penting yakni tabe gendang (meminta ijin secara adat di rumah adat untuk masuk kampung) dan menjadi asekae gendang (diangkat menjadi saudara secara adat di rumah adat). Sementara itu, pendekatan sosial dan hukum dilakukan dengan kegiatan sosialisasi berkali-kali hingga mendapatkan Penetapan Lokasi (Penlok) Pemda Manggarai. Akan tetapi, kelompok penolak selalu saja mengklaim proyek geotermal melanggar adat. Meskipun faktanya, PLN melakukan pendekatan adat. Mungkin ini pulalah alasan mengapa masyarakat Poco Leok lebih banyak (sekitar 80%) mendukung daripada menolak pengembangan energi bersih geotermal.

Isu lain yang tidak kalah sering didengungkan kelompok penolak geotermal adalah soal hak ulayat. Hak ulayat merupakan hak atas tanah yang bersifat turun temurun dan bersifat komunal (milik bersama) pada suatu masyarakat adat. Hak milik bersama yang kultural tersebut sering kali kita jumpai pada masyarakat-masyarakat yang memang pola kehidupannya beradat. Beradat dalam hal ini bermakna menjalankan kebiasaan yang terwariskan dari leluhur dan moyang mereka secara konsisten.

Sebagai masyarakat yang terwariskan kehidupan adat, masyarakat Manggarai tentu juga mengenal yang namanya tanah ulayat. Begitu pula dengan masyarakat Poco Leok. Secara adat Manggarai, tanah ulayat disebut dengan lingko. Ada goet (peribahasa Manggarai) yang mengatakan gendang one lingko peang yang berarti "karena gendang (rumah adat) sebagai rumah-tempat tinggal milik bersama, maka harus ada pula lingko (tanah adat) yang menjadi milik bersama-komunal.

Namun demikian, tidak semua lingko dalam konsep adat Manggarai sebagai tanah ulayat. Ada lingko yang dibagi secara pribadi setiap warga kampung. Lingko yang dikategorikan sebagai tanah ulayat adalah lingko randang one dan lingko yang dibagikan untuk dijadikan milik pribadi disebut lingko randang peang. Lingko randang one biasanya berdekatan dengan gendang dan lingko ini tidak dapat dibagikan kepada pribadi-pribadi. Lingko ini menjadi kebun komunal. Sedangkan lingko randang peang lazimnya jauh dari gendang yang dijadikan kebun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi pribadi-pribadi warga kampung.

Tanah-tanah adat yang menjadi lokasi (wellped) geotermal Poco Leok adalah lingko-lingko randang peang karena semuanya menjadi milik pribadi warga kampung. Bukan lingko randang one alias tanah komunal. Dengan demikian, alibi kelompok penolak geotermal Poco Leok terkait tanah komunal tidaklah berdasar secara adat Manggarai. Di lain sisi, secara konteks bernegara harus selalu dipahami bahwa setiap jengkal tanah yang berada di wilayah NKRI diikat dengan asas fungsi sosial tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria: semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Ini artinya setiap hak yang melekat pada tanah mengandung fungsi sosial. Fungsi sosial tanah ini tidak lain berkaitan erat dengan kepentingan umum semisal melalui pembangunan negara katakanlah geotermal Poco Leok. Asas tanah ini berlaku untuk setiap jenis kepemilikan atas tanah baik pribadi maupun tanah komunal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun