Aku berlari menyusuri jalan setapak penuh ilalang. Sesekali kulihat ke belakang. Mungkin ada seseorang yang akan menyusul di belakangku. Tapi tak ada tanda-tanda. Hanya sepi malam dan suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Dengan nafas sedikit tersengal aku sampai di pondok, sebuah tempat pertemuan rahasiauntuk menemui bulan. Aku duduk melepas lelah. Masih ada waktu untuk berleha sejenak sebelum menemui penguasa malam itu. Ku pandangi ia dari jauh. Sinarnya tak cukup terang malam ini, hanya seperempat saja sabitnya. Tapi dengan senyumannya seperti itu, ia sangat terlihat anggun dengan jubah keratuannya.
Entah sejak kapan, aku tidak ingat dengan pasti, aku mulai menjadi abdi malamnya. Aku senang menjalaninya. Menjadi selalu tak sabar menunggu malam menjelang, menghabiskan malam hanya untuk sekedar memandanginya dan jika ku sudah lelah aku datang menemuinya dan sedikit bercakap-cakap dan kemudian ia akan mempersilahkanku untuk tidur dengan belaiannya. Hingga akhirnya ku terlelap dengan senyuman.
‘Sstt,, sstt,,’ terdengar sebuah siutan memanggil
Aku menoleh ke sekeliling. Terlihat seseorang dari balik semak-semak. Ia berjalan menghampiri. Sosoknya tak begitu jelas karena memang cahaya bulan sabit tak cukup menerangi jagad malam ini. Tapi ketika hampir mendekat, aku jadi tersenyum geli melihatnya. Ia kan teman seperjalananku. Kadang kami berpapasan sewaktu menghadap bulan di istananya. Kadang kami bercengkarama dulu di pondok ini sebelum ke istana. Dan aku dibuatnya tergelak malam ini, apa yang dilakukannya di balik semak-semak itu.
Ia tersenyum begitu sampai di depanku. Aku membalas dengan dengan tertawa lepas bahagia. Kemudian ia duduk disampingku. Dia masih tersenyum. Aku menoleh,
‘Apa yang kau perbuat di sana? Di semak-semak? Lihatlah tampangmu karenanya. Rambutmu kusut kena ranting-ranting.’
Ia mengacak-ngacak rambut dengan jarinya. Tapi yang aku herankan, dia masih tersenyum.
‘Ada apa sih? Apa yang kau lakukan di sana?’
Ia balik menoleh kepadaku, dan masih dengan tersenyum. Kali ini lebih lebar. Hingga matanyapun jadi ikut tersenyum.
‘Aku mengintip bidadari.’
Mataku terbelalak, tapi kalimatnya membuatku tertawa terbahak mendengar ceritanya. Bagaimana mungkin ia bisa mengintip bidadari. Seperti Jaka Tarub saja, pikirku.
‘Kau tidak percaya?’
Tawaku berhenti paksa, dan kuanggukkan kepala untuk mengatakan aku percaya.
“Kau tidak percaya sepertinya,”, ia mengalihkan pandangannya dariku. Senyumnya tak terlihat lagi.
Aku merasa bersalah. Apakah ia sedih?
‘Hey,,, aku percaya padamu.’
Dia menoleh lagi dan untungnya dia kembali tersenyum, hingga membuatku lega. ia selalu seperti itu. Tak pernah membuatku khawatir.
‘Hmm,,sang bulan menanyakanmu terus. Katanya kenapa kau jarang menyapanya beberapa hari ini. hari inipun kau telat menyapanya.’
‘Hehehe,,iyah,aku sudah hinggap di mahligainya sebenarnya. Tapi ada yang mengusikku hingga tak sempat menemuinya di istana.’, jawabnya, dan senyum lebarnya kembali merekah
Aku semakin penasaran apa yang terjadi dengannya, ‘Oh, ya??? Apa itu? Bulan sudah menantimu di istananya. Kau akan membuatnya murka jika tidak menemuinya malam ini’
‘Malam ini aku juga akan terlambat menemuinya. Tapi akan kusampaikan sesuatu dan kuyakin ia pasti akan mengabulkan permintaanku.’
‘Memangnya apa yang akan kau pinta?’, tanyaku penasaran
Dia tersenyum memandangku, ‘Akan kuminta izinnyanya untuk bercengkrama dan bersenda gurau dengan bidadarinya. Walau hanya sekejap’
Aku hanya terdiam mendengar celotehannya. Sepertinya ia begitu bersemangat bercerita tentang bidadarinya. Dan aku tidak mau mengusiknya.
Ia memandang bulan masih dengan senyumannya. Mungkin melihat bidadarinya yang sedang menari di atas sana. Dan aku juga ikut tersenyum bahagia walau aku sendiri tak bisa melihatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H