Mohon tunggu...
Fairy Monisha
Fairy Monisha Mohon Tunggu... Pharmacist -

yes, i am childish and that's my charm!!!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sajak Siklus dalam Rasa

27 Maret 2018   22:42 Diperbarui: 27 Maret 2018   22:56 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tetiba aja, kita ga punya topik pembicaraan.

Tetiba aja kita kehilangan kata kata satu sama lain.

Tetiba, aku tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk berkisah seperti biasa, berkeluh kesah walau sekedar cerita basi untuk bermanja.

Tetiba aja mulut ini diam dan tak ingin bersuara meski dalam otaknya ada banyak gema yang berdentum.

Tetiba aja aku memilih menyimpan semuanya sendiri, lebih baik dikecewakan diri sendiri dari pada berharap kepada orang lain lalu dikecewakan. Kepada siapa akan meratap kemudian mengutuk untuk meminta pertanggung jawaban bagi hati yang terluka,nanti?

Tetiba saja kamu terlihat seperti orang lain yang asing, yang bagaimanapun aku berharap, kamu tidak akan pernah ada untuk memenuhi harapan itu. Bagaimanapun aku menginginkanmu, kamu tidak akan datang untuk mengisi keinginan itu. Dan bagaimanapun aku ingin menahan diri agar tidak membuatmu ataupun diriku untuk saling menjauh...tetap saja kita terasa jauh dan jarak terasa semakin membentang dan meluas. Bagaimanapun!

Tetiba saja kita yang satu rasa berubah menjadi tidak saling mengerti dan memahami pribadi luhur diri masing-masing. Kenapa kamu begini? Kenapa aku begini? Kenapa dia jadi begitu? Kenapa kita jadi begini? Tidak ada yang belajar memahami atau kita memang dua sosok yang saling bertolak belakang hingga saling menolak untuk membiarkan yang satu mengalah demi yang satu. Bukan hanya sekedar berharap yang satu akan berjuang demi yang satu. Kenapa?

Tetiba saja aku ingin lari. Berlari kencang dan berharap akan ada seseorang yang akan mengejar dengan tidak kalah gesitnya, hingga suatu waktu dia akan menangkapku dan memelukku dari belakang, berharap aku tidak akan pernah lagi kabur bahkan hanya sekedar berfikit untuk lari. Dan kemudian semuanya hilang... Kita berdua saling berlari, hanya saja... Arah kita berbeda kali ini. Akan kah pertemuan itu terjadi?

Lalu secara tiba-tiba kita saling tersenyum. Aku merentangkan tangan dan kau akan menyambutku hangat. Lalu kita lupa kepada waktu. Kita lupa kepada jarak. Kita lupa kepada kesempatan. Kita lupa kepada perdebatan. Kita lupa kepada luka. Kita lupa kepada kekecewaan. Kita lupa kepada pengajaran. Kita lupa kepada pelajaran. Kita lupa kepada didikan. Kita lupa kepada pertikaian. Kita lupa kepada perdebatan. Kita lupa kepada argumen. Kita lupa kepada pendirian. Kita lupa kepada rencana. Kita lupa kepada senja yang sendu. Kita lupa kepada malam yang kesepian. Kita lupa kepada air mata. Kita lupa kepada rintik tangis hujan. Kita lupa kepada budaya. Kita lupa kepada tradisi.

Dan pada akhirnya, Kita lupa kepada diri kita. 

Tetiba saja, siklus ini terus berputar dan berputar. Dan kita terus memainkannya, tanpa pernah menyadari apakah ini adalah apa yang kita inginkan atau tidak. Kita tetap menjalaninya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun