Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena cancel culture semakin mencuat, tidak hanya di negara-negara Barat, tetapi juga di Indonesia. Namun, masih banyak yang bertanya-tanya, apa sebenarnya cancel culture itu?
Sederhananya, cancel culture adalah praktik sosial di mana individu atau kelompok masyarakat memboikot atau "membatalkan" seseorang yang biasanya figur publik atau tokoh terkenal karena dianggap melakukan tindakan atau ucapan yang melanggar nilai-nilai, norma, ataupun etika. Sedangkan, secara umum fenomena ini digunakan oleh masyarakat sebagai cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuan dan menuntut perubahan.
Cancel culture adalah respons terhadap perilaku yang dianggap tidak pantas oleh masyarakat. Biasanya, ini terjadi di dunia maya, di mana orang dengan mudah menyuarakan pendapatnya melalui media sosial. Individu atau institusi yang "dibatalkan" sering mengalami penurunan reputasi secara drastis. Fenomena ini merupakan evolusi dari tradisi boikot, namun kali ini didorong oleh teknologi internet dan kecepatan penyebaran informasi.
Â
Tujuan utama dari cancel culture adalah untuk meminta pertanggungjawaban dari mereka yang dianggap melakukan kesalahan, terutama ketika sistem hukum atau sosial yang ada dianggap tidak memberikan hukuman yang sesuai. Fenomena ini memberikan kekuatan kepada masyarakat umum untuk menentukan standar moral dan sosial, serta menekan figur publik atau tokoh tertentu untuk memperbaiki kesalahan mereka. Lebih lanjut, cancel culture berperan sebagai bentuk pembalasan sosial yang singkat dan langsung.
Fenomena cancel culture meraih popularitas karena kelincahannya dan dampaknya yang langsung. Media sosial memiliki peran penting dalam mempercepat penyebaran informasi dan mencapai audiens yang lebih luas. Di samping itu, masyarakat modern kini memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap isu-isu seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, feminisme, dan isu-isu lingkungan. Dengan demikian, cancel culture sering dipergunakan untuk mengadvokasi nilai-nilai ini, mendorong masyarakat untuk lebih kritis dan bertanggung jawab terhadap tindakan mereka.Â
Â
Di Indonesia, salah satu contoh cancel culture yang mencolok adalah kasus beberapa selebriti yang mendapat kecaman publik akibat pernyataan atau tindakan yang dianggap kontroversial. Pada tahun 2020, seorang YouTuber terkenal diberi kritik keras karena melakukan aksi prank yang tidak pantas terkait isu sosial sensitif. Publik merespons dengan cepat, memboikot kontennya, dan ia harus meminta maaf di depan publik. Ada kasus lain di mana para tokoh politik menghadapi tekanan dari masyarakat setelah dianggap mengeluarkan pernyataan yang bersifat rasis atau diskriminatif terhadap suatu kelompok tertentu.
Fenomena ini menimbulkan tekanan signifikan bagi individu yang menjadi sasaran. Media sosial memungkinkan netizen untuk mengawasi setiap tindakan atau perkataan seseorang secara ketat. Individu yang menjadi sasaran cancel culture mungkin mengalami dampak yang signifikan, mulai dari kehilangan popularitas hingga kehilangan pekerjaan. Dalam beberapa kasus, fenomena cancel culture bahkan dapat menciptakan ruang diskusi lebih lanjut tentang isu-isu sosial. Namun, banyak yang mengkritik fenomena ini karena dapat menghasilkan bentuk "penghakiman publik" yang sering tidak seimbang.
Fenomena cancel culture di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari budaya masyarakat yang bersifat kolektif dan menekankan nilai-nilai kebersamaan. Di Indonesia, norma-norma sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku individu. Jika seseorang melanggar norma tersebut, sanksi sosial bisa sangat kuat. Cancel culture di Indonesia sering kali berasal dari keyakinan bahwa tindakan yang tidak sesuai harus segera dikenai sanksi oleh masyarakat sebagai upaya mengontrol perilaku sosial. Namun, di sisi lain, budaya menghormati hierarki sosial dan kecenderungan untuk menghindari konflik terbuka juga sering membuat cancel culture di Indonesia tidak selalu berjalan secara konsisten.
 Media sosial memiliki peran yang sangat besar dalam memicu dan menyebarkan cancel culture. Platform seperti Twitter, Instagram, dan Facebook memungkinkan publik untuk dengan cepat menyuarakan ketidaksetujuan terhadap perilaku atau perkataan figur publik. Terkadang, informasi atau tudingan dapat menyebar dengan cepat sebelum diverifikasi secara tepat. Hal ini menciptakan fenomena "trial by social media", di mana masyarakat dengan cepat mengevaluasi seseorang berdasarkan pandangan kolektif yang terbentuk dari postingan media sosial.