Indonesia memiliki banyak isu. Salah satunya adalah kesetaraan gender. Saya sebagai perempuan mengalaminya, karena kebanyakan individu autis laki-laki dan tidak banyak perempuan. Aku sendiri didiagnosis autis pada saat usia 12 tahun.
Pada Jumat, 15 Maret 2024, mewakili Yayasan Autisma Indonesia, saya mengikuti workshop dengan tema kesetaraan gender dan kepemimpinan. Untuk pertama kalinya, workshop yang aku ikuti diadakan oleh Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Peserta-peserta yang mengikuti workshop di antara lain menyandang disabilitas netra, rungu, wicara, daksa, down syndrome, dan autis ringan (ada dua penyandang autis, salah satunya saya).
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) didirikan pada 9 September 1997 sebagai organisasi untuk para perempuan disabilitas, baik fisik (netra, rungu, wicara, dan daksa) atau mental (down syndrome dan autis), di Indonesia. Himpunan tersebut mempunyai tujuan mempromosikan perlindungan dan hak, sekaligus pemberdayaan untuk para perempuan yang memperjuangkan agar kesetaraan dan kesejahteraan terpenuhi.
Dalam workshop tersebut, saya dan para peserta lain belajar arti gender, interseksionalitas, diskriminasi akibat salah pengertian, jenis-jenis pemimpin, dan karakter apa saja yang dimiliki pemimpin. Usai workshop selesai, HWDI berharap suatu hari akan datang para pemimpin perempuan muda dengan disabilitas yang ikut serta dalam menyumbangkan suara tentang isu-isu disabilitas.
HWDI selalu memakai istilah "penyandang" dan bukan "pengidap", karena disabilitas bukanlah penyakit. Perempuan disabilitas dianggap memiliki kesetaraan dengan mereka yang bukan disabilitas. Dengan begitu, para penyandang disabilitas tidak perlu khawatir ketika melakukan suatu hal, apalagi perempuan WNI (Warga Negara Indonesia). Kita pasti bisa kalau berusaha.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H