Mohon tunggu...
Fairuz Lazuardi Nurdani
Fairuz Lazuardi Nurdani Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Law

Email : fairuzlazuardi15@gmail.com Instagram : fairuzlazuardi Twitter : @fairuzlazuardi Cp : 082124176998

Selanjutnya

Tutup

Politik

Statement Bambang Wuryanto (Pacul) Dapat Menjadi Legitimasi Bagi Rakyat Indonesia Untuk Membubarkan DPR?

11 April 2023   16:48 Diperbarui: 11 April 2023   17:06 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan tujuan tersebut, sudah semestinya partai politik menjadi kanal kaderisasi rakyat serta menjadikan rakyat melek politik dengan pendidikan-pendidikan poitik yang massif diberikan secara berkala dan berkelanjutan. Namun, teori tidak melulu di implementasikan menjadi realita. Realitanya hari ini partai politik sangat minim memberikan pendidikan politik dan proses kaderisasi yang ideal, terlebih dalam rekruitmen anggota partai yang nantinya akan di distribusikan ke dalam kursi-kursi di tataran legislatif maupun eksekutif. Yang dicari untuk saat ini tidak melulu yang memiliki kualitas tetapi bisa saja sekedar individu yang memiliki popularitas atau yang siap mengeluarkan budget untuk membeli integritas. Padahal mereka yang sudah di distribusikan oleh partai seharusnya dapat fokus menjalankan tugas-tugas nya untuk melayani rakyat tetapi sayangnya yang terjadi malah partai politik beserta konco-konco nya tetap ingin dilayani sepenuh hati.

Partai politik seolah tidak lagi ingin berjibaku menyelam ke proses kaderisasi anggota yang ketat, justru sebaliknya partai politik terkesan pragmatisme dalam mencari mereka yang akan di distribusikan. Pragmatisme yang dimaksud adalah cara-cara instant atau praktis dalam hal menyelenggarakan keberlangsungan demokrasi, sehingga pergeseran orientasi inilah yang menciptakan penyakit-penyakit baru di dalam sistem demokrasi yaitu seperti politisi yang tidak paham makna bernegara, praktik organisir massa menggunakan uang bukan gagasan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, para pimpinan partai politik mencari cara untuk meneguhkan kedudukan dirinya agar memiliki nilai tawar yang tinggi, salah satu cara tersebut adalah dengan melakukan konsolidasi dan beraliansi dengan para kapitalis. Kapitalis memiliki kekuatan modal yang dapat menunjang kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan propaganda bukan dengan gagasan tetapi mengisi dapur si miskin dengan sembako-sembako seadanya maka jangan heran ketika kampanye dilangsungkan persetan dengan gagasan tetapi beras dan sembako menjadi senjata utama mengilusi para konstituen di lapangan.

Inilah kenapa pada akhirnya ketua umum partai politik seolah begitu terlihat abuse of power, terlebih partai politik yang memiliki basis massa yang besar. Massa yang terilusi menganggap partai politik sudah cukup baik ketika memberikan kebutuhan pokok dapur yang itupun hanya bertahan dalam kurun waktu sebentar saja, padahal semestinya yang diberikan adalah gagasan yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan kebijakan yang menjadikan lahirnya kadaulatan lewat meratanya kesejahteraan.

Mereka orang-orang yang diberikan ruang oleh ketua partai politik untuk dapat ikut kontestasi demokrasi dan terlebih jika memenangkan konstestasi tersebut, orang-orang ini tentu harus memiliki kewajiban utama untuk patuh terhadap amanat rakyat, oh tentu tidak. Maksud saya patuh kepada ketua partai politik dikarenakan masih terdapat ajaran politik balas budi. Ini lah seperti apa yang disampaikan oleh Bambang Pacul dan budaya manut inilah yang pada akhirnya membuat wakil rakyat menegasikan kepentingan rakyatnya sendiri.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa ketua umum partai politik pastinya memiliki hubungan khusus dengan para kapitalis. Melalui hubungan khusus inilah mereka bertukar kepentingan dan tentu kepentingan yang di dalamnya terdapat simbiosis mutualisme lalu cara untuk dapat mewujudkan itu adalah dengan mengutus petugas partai masuk ke dalam sendi-sendi kekuasaan melalui prosedur demokrasi selanjutnya rakyat di ilusi dan di iming-imingi lalu pada akhirnya kekuasaan dan kepentingan mereka dapat sementara rakyat hanya dapat melihat, adapun jika ingin kritis terhadap keadaan tentu akan dijerat oleh aturan hukum yang memang sudah dipersiapkan. Inilah pelecahan kasat mata yang dilakukan penguasa Bersama pemodal kepada rakyat nya sendiri,

Wakil rakyat yang inkompetensi dalam mewakili rakyat, bisakah dibubarkan?

Sejauh ini tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dijatuhkan kecuali kekuasaan Tuhan. Namun kekuasaan DPR dalam sistem Presidensil seolah ingin menyerupai kekuasaan Tuhan karena begitu sulit untuk dijatuhkan. Indonesia secara konstitusi saat ini menganut sistem Presidensil, dimana adanya pemisahan kekuasaan yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang berdasarkan prinsip "checks and balances", berbeda dengan sistem parlementer, dalam  sistem tersebut presiden dapat melakukan pembubaran terhadap parlemen melalui persetujuan yang dilakukan atas pengajuan yang dilakukan oleh perdana menteri dengan beberapa situasi kondisi dan mekanisme prosedural yang diatur menurut konstitusi nya.

Seperti halnya di Indonesia pernah dilakukan pembubaran badan konstituante melalui Dekrit Presiden Pada 5 Juli 1959, Soekarno pada saat itu mengalami kebuntuan dalam merumuskan undang-undang dasar dan pada akhirnya dikembalikannya konstitusi kepada UUD 1945, penarikan UUD 1950, dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945.

Pembubaran parlemen secara teoritis maupun dalam praktek di Indonesia ternyata hanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan sepertinya tidak masuk akal dilakukan secara konstitusional dalam sistem presidensil. Adapun pada era Presiden Gus Dur ia juga ingin membubarkan DPR dengan mengacu pada Dekrit era Soekarno, hal itu sulit dan bahkan mustahil untuk dilakukan karena Presiden dalam sistem Presidensil tidak dapat melakukan pembubaran DPR atau badan Legislatif ditambah pada saat era Gus Dur juga situasi politik tidak dalam kondisi yang terlalu memanas sehingga rakyat pada saat itu tidak mengganggap pembubaran DPR sebagai suatu hal yang urgent.

Walaupun demikian, bukan berarti DPR sebagai Lembaga yang absolute dan tidak dapat dibubarkan dengan cara apapun. Masih terdapat beberapa cara yang mungkin dilakukan untuk pembubaran DPR itu dilakukan, yaitu menurut Rival G. Ahmad dan Bivitri Susanti dalam tulisannya yang termuat di dalam media Hukumonline, mereka menjelaskan Hal yang paling mungkin dilakukan secara konstitusional adalah pembubaran DPR oleh para anggota DPR. Namun untuk sampai pada hal ini, perlu ada penggembosan di kalangan DPR sendiri untuk selanjutnya menyatakan mosi pembubaran DPR. Cara yang tidak umum terjadi dalam sistem presidensil, tapi juga tidak ada larangan yang menghambatnya secara konstitusional. Selama masih ada kalangan anggota DPR yang tidak menyetujui pembubaran ini, maka DPR tidak dapat bubar secara institusional. Namun setelah ini, fungsi DPR tidak akan berjalan sebagaimana seharusnya, yang akhirnya akan menyebabkan DPR akan kehilangan legitimasi. Kemacetan politik yang dihasilkan akan mengarah pula pada kondisi yang memungkinkan presiden membubarkan DPR. Akibat sampingannya, konflik antara presiden dan DPR telah berhasil dipindahkan menjadi konflik internal DPR.

Jika dirasa penggembosan melalui internal DPR dirasa sulit cara selanjutnya mungkin kita dapat melihat Myanmar yang berhasil melakukan pengalihan kekuasaan secara keseluruhan dan membuat dewan pemerintahan yang dikendalikan oleh militer lewat kudeta. Namun jika itu diterapkan di Indonesia mungkin rakyat secara akan melakukan penolakan kerasa oleh karena rakyat Indonesia masih menyisakan luka lama 32 Tahun dibawah kepemimpinan rezim otoriter yang berlatar belakang militer dan tak hanya itu, deretan Panjang kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer juga menjadi dasar kuat penolakan rakyat ketika melakukan pembubaran DPR namun melalui militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun