"Perang adalah neraka," begitu kata seorang prajurit. Di tengah neraka itu, seharusnya masih ada secercah cahaya kemanusiaan yang menyinari. Hukum Humaniter Internasional (HHI) hadir sebagai upaya untuk menjaga agar perang tidak sepenuhnya kehilangan kemanusiaannya. Namun, apakah upaya ini berhasil? Ketika kita melihat begitu banyak pelanggaran HHI yang terjadi, mulai dari serangan terhadap rumah sakit hingga penggunaan senjata kimia, sulit untuk tidak pesimis. Pertanyaan mendasar pun muncul: Apakah HHI masih relevan dalam dunia yang semakin brutal ini? Bayangkan seorang anak kecil yang bermain di taman, tanpa menyadari bahaya perang yang mengintai di sekitarnya. Bom meledak, rumah-rumah hancur, dan mimpi-mimpi masa depan sirna seketika. Tragedi kemanusiaan seperti ini terus berulang di berbagai belahan dunia, bahkan ketika kita memiliki seperangkat aturan yang dirancang khusus untuk melindungi warga sipil. Hukum Humaniter Internasional (HHI) seharusnya menjadi tameng bagi mereka yang lemah, namun kenyataannya, banyak korban yang tetap jatuh. Kenapa? Apakah HHI telah gagal dalam melindungi kemanusiaan, atau kita yang telah gagal dalam menerapkannya?
Hukum Humaniter Internasional memiliki akar yang panjang, jauh sebelum adanya negara modern. Konsep perlindungan terhadap korban perang dan pembatasan cara berperang telah muncul dalam berbagai peradaban kuno. Namun, HHI dalam bentuk modernnya mulai terbentuk pada abad ke-19. Puncak dari perkembangan HHI adalah serangkaian Konvensi Jenewa yang disepakati pada pertengahan abad ke-19. Konvensi ini mengatur perlindungan terhadap korban perang, termasuk tentara yang terluka, sakit, dan tawanan perang, serta warga sipil. Perang Dunia I dan II mendorong perluasan cakupan Hukum Humaniter Internasional. Protokol tambahan ditambahkan untuk melindungi korban konflik bersenjata non-internasional dan untuk melarang penggunaan senjata tertentu. Setelah Perang Dingin, fokus Hukum Humaniter Internasional bergeser pada konflik internal dan non-negara. Isu-isu seperti perlindungan anak-anak yang terlibat dalam konflik bersenjata dan penggunaan ranjau darat menjadi sorotan utama. Hukum Humaniter Internasional didasarkan pada prinsip:
- Prinsip Bedaan (Distinction): Prinsip ini mengharuskan pihak yang terlibat dalam konflik untuk membedakan antara kombatan dan warga sipil, serta antara objek militer dan objek sipil. Serangan hanya boleh dilakukan terhadap kombatan dan objek militer, sementara warga sipil dan objek sipil harus dilindungi.
- Prinsip Proporsionalitas (Proportionality): Prinsip ini mengatur bahwa kerusakan yang ditimbulkan dalam serangan harus sebanding dengan tujuan militer yang ingin dicapai. Dalam hal ini, serangan yang mengancam nyawa atau harta benda sipil harus dihindari, kecuali jika serangan tersebut merupakan keharusan untuk mencapai tujuan militer yang sah. Serangan militer harus diarahkan pada target militer yang sah dan kerusakan terhadap objek sipil harus seminimal mungkin. Prinsip ini bertujuan untuk mencegah penderitaan yang tidak perlu bagi warga sipil.
- Prinsip Kebutuhan Militer (Military Necessity): Prinsip ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan dalam perang haruslah semata-mata untuk kepentingan militer, dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan operasi militer. Hal ini membatasi penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau tidak proporsional.
- Prinsip Kemanusiaan (Humanity): Prinsip ini mengharuskan semua pihak untuk membedakan antara kombatan dan non-kombatan (warga sipil), serta melindungi objek-objek sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah. Tujuannya adalah untuk meminimalkan penderitaan manusia selama konflik.Â
- Prinsip Kewajiban Menghormati Hukum (Compliance with the Law): Semua pihak dalam konflik bersenjata wajib untuk mematuhi hukum internasional yang berlaku, baik hukum internasional humaniter maupun hukum internasional lainnya yang relevan, seperti hukum hak asasi manusia dan hukum lingkungan.
Hukum Humaniter Internasional didirikan atas fondasi prinsip-prinsip kemanusiaan yang mulia. Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman bagi negara-negara dan pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata untuk berperilaku secara manusiawi. Meskipun Hukum Humaniter Internasional telah menetapkan standar yang jelas tentang bagaimana konflik bersenjata harus dilakukan, pelanggaran terhadap prinsip-prinsipnya masih sering terjadi. Contohnya saja, Serangan terhadap warga sipil seperti serangan udara, artileri, dan roket yang menargetkan daerah pemukiman, sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur sipil lainnya di Ukraina tahun 2022 lalu. Selain itu, kita banyak mengetahui bagaimana korban korban perang di Palestina begitupula dengan kasus yang lain. Hal ini menunjukkan seringkali kepentingan politik jangka pendek mengalahkan pertimbangan kemanusiaan. Negara atau kelompok bersenjata mungkin lebih mengutamakan kemenangan militer daripada melindungi warga sipil. Negara-negara besar seperti Amerika seringkali menerapkan standar ganda dalam mengevaluasi pelanggaran HHI. Pelanggaran yang dilakukan oleh sekutu atau negara yang memiliki kepentingan strategis seringkali dianggap lebih ringan dibandingkan pelanggaran yang dilakukan oleh musuh atau negara yang dianggap sebagai ancaman. Pihak yang terlibat dalam konflik seringkali menggunakan tuduhan pelanggaran HHI sebagai alat propaganda untuk mendapatkan dukungan internasional. Mereka dapat membesar-besarkan pelanggaran yang dilakukan oleh lawan atau memutarbalikkan fakta untuk membenarkan tindakan mereka sendiri. Seperti pada konflik di Suriah, kedua belah pihak dalam konflik di Suriah seringkali saling tuduh melanggar HHI, namun keduanya juga menggunakan tuduhan pelanggaran HHI sebagai alat propaganda untuk mendapatkan dukungan internasional. Mekanisme pengawasan dan penegakan hukum internasional masih lemah, sehingga sulit untuk menuntut pelaku pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Selain itu, pihak yang terlibat dalam konflik seringkali menyebarkan propaganda dan disinformasi untuk membenarkan tindakan mereka dan menyalahkan pihak lawan.
       Pelanggaran yang terjadi dalam penegakan hukum humaniter internasional menimbulkan akibat yang tidak sedikit. Korban konflik bersenjata, terutama warga sipil, seringkali mengalami penderitaan yang mendalam baik secara fisik maupun psikologis. Pengalaman traumatis seperti menyaksikan kekerasan, kehilangan orang yang dicintai, dan perlakuan kejam dapat menyebabkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD), depresi, dan kecemasan berkepanjangan. Selain itu, Banyak korban mengalami cedera fisik akibat kekerasan, ledakan, dan penggunaan senjata. Cedera ini dapat menyebabkan cacat permanen dan membutuhkan perawatan medis jangka panjang. Selain fisik dan psikologis, konflik seringkali menyebabkan kerusakan infrastruktur dan perpindahan penduduk, mengakibatkan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Kegagalan sistem internasional dalam mencegah dan menghukum pelanggaran HHI seringkali menimbulkan perasaan ketidakadilan dan putus asa di kalangan korban. Korban merasa bahwa suara mereka tidak didengar dan keadilan tidak pernah terwujud. Korban merasa bahwa tidak ada harapan untuk masa depan yang lebih baik dan seringkali putus asa untuk mencari perlindungan. Kekecewaan dan rasa tidak adil dapat mendorong korban untuk terlibat dalam kekerasan sebagai bentuk balas dendam, sehingga memperpanjang siklus konflik. Ditengah pelanggaran yang tidak sedikit terjadi, organisasi internasional seharusnya memainkan peran yang sangat krusial dalam mencegah dan menanggapi pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Mereka bertindak sebagai penengah, pengawas, dan pemberi bantuan kemanusiaan di tengah konflik bersenjata.
Pertanyaan mendasar: Apakah HHI masih relevan dalam konteks konflik modern yang semakin kompleks?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah sebuah "ya" yang kompleks. Hukum Humaniter Internasional (HHI) memang dirancang untuk mengatur konflik bersenjata yang bersifat konvensional, namun relevansi HHI tetap tak terbantahkan dalam menghadapi kompleksitas konflik modern. Meskipun konflik saat ini melibatkan teknologi yang lebih canggih, aktor non-negara, dan situasi yang lebih kompleks, prinsip-prinsip dasar HHI seperti perlindungan terhadap warga sipil, larangan penyiksaan, dan pembatasan penggunaan senjata tertentu tetap berlaku dan sangat dibutuhkan. Hukum Humaniter Internasional tetap relevan dalam konteks konflik modern, namun membutuhkan adaptasi dan inovasi untuk menghadapi tantangan baru. Dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif dapat dipastikan bahwa bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan terus dihormati dan korban konflik mendapatkan perlindungan yang memadai. Contohnya:
- Adaptasi terhadap Perubahan: HHI harus terus diperbarui dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan perubahan karakter konflik.Â
- Kolaborasi Multisektor: Perlu adanya kerja sama yang lebih erat antara aktor-aktor non-negara seperti organisasi kemanusiaan, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam upaya melindungi korban konflik.Â
- Penguatan Penegakan Hukum: Mekanisme hukum internasional perlu diperkuat untuk memastikan bahwa pelaku pelanggaran HHI dapat diadili dan dihukum.Â
- Fokus pada Pencegahan: Upaya pencegahan konflik harus menjadi prioritas utama untuk mengurangi penderitaan manusia.Â
- Pendidikan dan Kesadaran: Pendidikan tentang HHI harus ditingkatkan untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hukum kemanusiaan.
Selain itu, peran Masyarakat sipil khususnya generasi muda juga sangat krusial untuk berjalannya hukum humaniter ini. Mereka dapat bertindak sebagai pengawas, advokasi, dan pemberi tekanan pada pemerintah dan aktor internasional lainnya. Seperti:
- Mebongkar kebenaran: Mereka dapat mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi dan menyuarakan suara korban lewat teknologi dan internet yang sudah canggih di zaman modern ini. Sehingga, dapat menarik perhatian media internasional dan lembaga-lembaga internasional terhadap pelanggaran HHI yang terjadi.
- Mendesak pemerintah: Melalui petisi, demonstrasi, dan lobi, masyarakat sipil dapat mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan yang lebih tegas dalam mencegah dan menghukum pelanggaran HHI.
- Memberikan bantuan langsung: Organisasi masyarakat sipil seringkali menjadi garda depan dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban konflik.
       Hukum Humaniter Internasional (HHI) tetap menjadi landasan penting dalam upaya melindungi kemanusiaan di tengah konflik bersenjata. Prinsip-prinsip kemanusiaan, proporsionalitas, dan pembedaan yang terkandung di dalamnya menjadi benteng terakhir bagi korban konflik. Meskipun menghadapi tantangan yang kompleks, HHI terus relevan dan relevansi ini akan semakin meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Dengan semakin meningkatnya kesadaran global akan pentingnya HHI, kita dapat berharap pada masa depan yang lebih manusiawi dalam konflik bersenjata. Perubahan menuju masa depan yang lebih manusiawi tidak akan terjadi secara instan. Dibutuhkan upaya bersama dari semua pihak untuk mewujudkan harapan ini. Masyarakat sipil, pemerintah, organisasi internasional, dan individu memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong perubahan positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H