Korea Utara dan Korea Selatan mulanya merupakan satu kesatuan yang bernama Semenanjung Korea. Namun pasca Perang Dunia II pada tahun 1945, pasukan Sekutu, terutama Amerika Serikat dan Uni Soviet, bersepakat untuk membagi Korea menjadi dua zona pendudukan, dengan Uni Soviet membangun pangkalan militernya di Semenanjung Korea bagian utara dan memiliki akses penuh akan Korea di sisi utara dan begitupun yang terjadi di selatan bersama dengan Amerika Serikat yang juga mendirikan pangkalan militernya di Semenanjung Korea bagian selatan .
Pada tahun 1948, dua negara berdaulat yang berbeda didirikan di masing-masing zona tersebut, Korea Utara memproklamasikan Republik Demokratik Rakyat Korea di bawah pengaruh Uni Soviet dan Korea Selatan mendirikan Republik Korea yang didukung oleh Amerika Serikat.
Ketegangan antara kedua negara ini meningkat seiring waktu, dan pada tahun 1950, Perang Korea pecah ketika Korea Utara menyerbu Korea Selatan. Perang berlanjut selama tiga tahun sebelum berakhir dengan gencatan senjata pada tahun 1953. Namun, gencatan senjata  ini tidak pernah digantikan oleh perjanjian perdamaian resmi, sehingga Semenanjung Korea tetap terpecah menjadi dua negara yang terpisah hingga saat ini, dengan zona demiliterisasi memisahkan mereka di sepanjang garis perbatasan yang disepakati.
Jika di lihat melalui karakteristik masing-masing negara, Korea utara menganut paham komunis dengan pemerintahan otoriter yang dipimpin oleh dinasti Kim dan Kim Jong Un sebagai pemimpin saat ini. Korea Selatan lebih mengarah pada negara demokratis dengan pemerintahan yang dipilih oleh pemilihan umum dan presiden adalah kepala negara yang dipilih secara demokratis. Sedangkan dari segi keamanan, Korea Utara lebih sering melakukan uji coba senjata nuklir dan rudal serta meningkatkan ketegangan regional. Sementara yang dilakukan Korea Selatan lebih menjaga aliansi keamanan yang erat dengan Amerika Serikat untuk melindungi diri dari ancaman potensial dari Korea Utara.
Pada kajian Teori Hubungan Internasional, Realisme menjelaskan bahwa hubungan internasional sifatnya anarkis dan konfliktual. Realisme percaya jika suatu negara mendambakan perdamaian maka yang harus dilakukan adalah memperkuat militer, sejalan dengan konsep Balance of Power. Korea Utara sudah lama menerapkan konsep ini bahkan sejak awal kemerdekaan mereka dimana peningkatan kekuatan militer terus dilakukan. Realisme memandang organisasi internasional bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan karena menurut asumsi dasar realisme, organisasi internasional hanya akan mengikuti keinginan anggota terkuatnya saja, oleh karena itu negara yang menganut konsep ini seperti Korea Utara tidak sepenuhnya percaya dengan organisasi internasional.
Dalam kajian teori realisme, terdapat realisme ofensif dan difensif. Hal-hal pokok yang mendasari apakah suatu negara lebih mengarah pada realisme defensif maupun ofensif ada pada perilaku negara tersebut. Dapat dikatakan defensif apabila suatu negara lebih memilih untuk bertahan namun tidak semata-mata bertahan melainkan terus mengembangkan kemampuan militer dan ekonominya seperti apa yang dilakukan oleh Korea Utara. Sedangkan ofensif adalah pola perilaku negara yang lebih agresif dengan menyerang untuk mendapatkan validasi bahwa negara tersebut adalah negara yang cukup kuat seperti apa yang dilakukan oleh Russia ketika menyerang Ukraina.
Berbeda dengan apa yang terjadi di utara, Korea Selatan lebih mengamni konsep liberalisme dengan asumsi dasarnya bahwa negara akan melihat kedamaian hanya ketika negara tersebut menerapkan demokrasi. dengan menjalankan sistem politik yang demokrasi, maka perdamaian antar negara dapat lebih mudah untuk dicapai seperti apa yang telah dilakukan oleh Korea Selaatan. Korea Selatan sangat menjaga hubungan diplomatik dengan negara-negara lain sehingga dapat tercipta hubungan kerjasama yang baik dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H