Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 telah memicu perdebatan di kalangan masyarakat. PPN, yang dikenakan pada setiap tahap transaksi barang dan jasa, memang dikenal sebagai sumber utama pendapatan negara. Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini diperlukan untuk memperkuat penerimaan negara, terutama setelah dampak pandemi yang menghancurkan perekonomian. Namun, dampak kebijakan ini bagi daya beli masyarakat menjadi sorotan utama.
Banyak opini liar yang meluas di media sosial, ada dugaan bahwa kenaikan PPN ini terkait dengan kebutuhan pendanaan besar untuk proyek ambisius Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Masyarakat pun mulai mempertanyakan prioritas pemerintah: mengapa pajak yang membebani rakyat justru dinaikkan, sementara ada sektor lain yang lebih membutuhkan perhatian? Apakah tidak lebih baik mencari alternatif pendanaan yang lebih efisien, tanpa harus membebani masyarakat lebih jauh? Apakah kebijakan ini benar-benar rasional, atau hanya sebuah beban tambahan yang menandakan lemahnya prioritas fiskal pemerintah?
Pada awal Januari 2025, pemerintah memastikan tarif PPN naik menjadi 12%. Kenaikan ini dikhawatirkan akan semakin memperburuk ketimpangan ekonomi yang sudah ada. Di tengah harga barang yang melonjak, terutama barang pokok, upah minimum tidak mengalami kenaikan signifikan, yang tentunya akan semakin menekan daya beli masyarakat, khususnya mereka yang berpenghasilan rendah dan menengah. Banyak yang menduga bahwa kebijakan ini dilakukan untuk meningkatkan pemasukan negara, terutama untuk membiayai proyek IKN dan berbagai program lainnya. Namun, ada fakta lain yang mungkin tak terlalu disoroti kenaikan PPN ini tidak hanya untuk pembiayaan program baru, melainkan juga untuk menutupi beban utang negara yang semakin menumpuk, utamanya dalam tahun 2025 dan 2026. Dalam konteks ini, keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi alasan utama. Ironisnya, solusi yang dipilih adalah menaikkan PPN---langkah yang dianggap terburu-buru dan kurang mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat.
Kenaikan tarif PPN berisiko semakin memperburuk ketimpangan ekonomi. Barang dan jasa yang sebelumnya masih terjangkau kini bisa menjadi lebih mahal. Di sisi lain, pemerintah seolah lebih fokus pada proyek IKN, yang meskipun digadang-gadang akan memberikan manfaat besar bagi masyarakat, sampai sekarang belum terbukti memberikan dampak yang nyata. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tampaknya tidak memprioritaskan kebutuhan yang lebih mendesak, seperti sektor kesehatan, pendidikan, atau pembenahan birokrasi. Kebijakan ini lebih banyak dilihat sebagai cara cepat untuk menutup defisit anggaran, sementara rakyat justru harus menanggung beban lebih besar.
Kenaikan PPN dianggap sebagai langkah strategis untuk mendanai pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan menarik minat investor. Berbagai insentif pajak, seperti pembebasan pajak penghasilan bagi pekerja dan pembebasan pajak jangka panjang bagi investor di IKN, diharapkan dapat membuat IKN lebih menarik dibandingkan dengan daerah lainnya. Namun, langkah ini membutuhkan pengelolaan yang efisien dan pengawasan yang ketat, agar manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat luas, bukan hanya sekelompok investor atau pihak yang mendapat keuntungan besar dari kebijakan ini.
Sungguh disayangkan bahwa alih-alih mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan, pemerintah justru memilih untuk meningkatkan pajak yang pada akhirnya membebani rakyat. Lebih baik jika pemerintah fokus pada perbaikan sektor-sektor vital yang langsung berdampak pada kesejahteraan rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, dan reformasi birokrasi. Jika IKN memang dipandang sebagai simbol kebangkitan Indonesia, maka pembangunannya harus berlandaskan keadilan sosial, bukan justru menjadi beban pajak yang semakin memberatkan rakyat.
Kenaikan PPN 12% ini bukan sekadar soal pendanaan untuk IKN. Lebih dari itu, ini adalah ujian bagi pemerintah dalam memprioritaskan kepentingan rakyat dan masa depan ekonomi Indonesia. Pembangunan yang adil hanya dapat tercapai jika pemerintah mampu menyeimbangkan ambisi besar dengan perhatian terhadap kebutuhan mendesak rakyat, bukan dengan menambah beban mereka yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi. Oleh karena itu, jika kenaikan PPN benar-benar dianggap sebagai langkah strategis, seharusnya ada kebijakan tambahan, seperti kenaikan upah minimum secara berkala, untuk memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga.
Kritik yang disampaikan bukanlah bentuk penolakan terhadap pembangunan. Justru, ini adalah upaya untuk mengingatkan pemerintah agar lebih peka terhadap kebutuhan rakyatnya. Pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif hanya akan terwujud jika pemerintah mampu mengutamakan keadilan sosial dan tidak membebani rakyat dengan pajak yang memberatkan di tengah ketidakpastian ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H