Sudah lebih dari satu dekade sejak dikeluarkannya Perpres No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Jika berdasarkan Grand Design tersebut, pada tahun 2025 mendatang seharusnya visi Reformasi Birokrasi sudah dapat terwujud. Dalam upaya terbaru mewujudkan Reformasi Birokrasi Presiden Joko Widodo meresmikan GovTech dengan nama INA Digital pada SPBE Summit 2024, 27 Mei lalu. GovTech INA Digital diharapkan dapat mendorong perkembangan layanan digital yang menekankan pada citizen centric. Hal tersebut sesuai dengan arahan Presiden Jokowi tentang Reformasi Birokrasi, yakni birokrasi berdampak, reformasi birokrasi bukan tumpukan kertas, serta birokrasi lincah dan cepat. Dalam arahan "Birokrasi lincah dan cepat", instrument digital memegang peran penting. Namun bukankah terlalu sempit jika hanya melalui transformasi digital? Mengingat permasalahan seperti Mind set, Culture-set, dan profesionalitas menjadi momok dalam lambannya reformasi birokrasi di Indonesia.
Reformasi Birokrasi Kita Sudah Sampai Dimana?
Reformasi birokrasi menjadi agenda penting bagi Indonesia karena berkaitan dengan pembenahan tata Kelola pemerintahan agar berjalan efektif dan efisien. Dewasa ini pemerintah terus menggenjot upayanya dalam mewujudkan Reformasi Birokrasi. Upaya-upaya tersebut dapat terlihat dengan adanya Grand Design  Reformasi Birokrasi pada tiap tiap kementrian/Lembaga seperti pada Kemenko PMK, Kemendikbud, MK, hingga instansi-instansi pemerintahan provinsi. Berbagai regulasi juga dirancang untuk mendukung terwujudnya birokrasi yang bersih dan bebas dari KKN. Seperti halnya penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan Pembangunan Zona Integritas (ZI). Melansir dari kominfo.go.id, hasil SAKIP tahun 2020 menunjukkan 95,24% Kementerian dan Lembaga serta 97,06% pemerintah provinsi mendapat predikat B ke atas. Sementara, capaian dalam ZI sebanyak 681 unit kerja mendapat predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan 82 unit kerja berpredikat  Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).
Prestasi lainnya adalah dalam penyediaan pelayanan publik digital. Digitalisasi pelayanan publik dipercaya dapat meningkatkan akuntabilitas juga sebagai peningkatan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Penyelenggaran pelayanan publik yang prima menjadi salah satu dari 8 area reformasi birokrasi tahun 2020-2024. Oleh karenanya pemerintah terus berinovasi menciptakan aplikasi pelayanan publik. Sayangnya, hal tersebut justru dijadikan ajang untuk adu inovasi hingga berhasil menciptakan 27.000 aplikasi digital dari pemerintah pusat maupun daerah. Alih-alih mempermudah Masyarakat, justru mempersulit karena Masyarakat perlu membuat akun untuk masing-masing aplikasi yang akan digunakan. Angka tersebut justru menjadi penghambat reformasi birokrasi di Indonesia.
Gebrakan GovTech INA Digital
Transformasi digital dalam penyelenggaraan pemerintahan memang mengurangi tumpukan kertas, sesuai dengan arahan presiden Jokowi, Reformasi Birokrasi bukan tumpukan kertas. Namun, jika jumlahnya sudah menyentuh 27.000 aplikasi/laman pemerintah justru akan menjadi reformasi birokrasi dengan tumpukan aplikasi. Keresahan itu akhirnya terjawab dengan solusi adanya GovTech (Governance Technology) INA Digital. GovTech INA Digital di luncurkan oleh Presiden Joko Widodo dalam SPBE Summit 2024. Dengan adanya INA Digital, Masyarakat tidak pelu lagi membuat akun untuk tiap-tiap aplikasi digital pemerintah. INA Digital menekankan pada interoperabilitas layanan. Penyelenggaran INA Digital akan dibawahi oleh BUMN dalam hal ini adalah PERURI.
Melansir dari konferensi Pers Penyelenggaraan SPBE Summit 2024, Menteri PANRB, Abdullah Azwar Anas, menerangkan pada tahap awal ini akan melibatkan 7 Kementrian/Lembaga yaitu Kemendagri, Kemendikbud, Kemenkes, Kepolisian, Kemensos, Kemenpan RB, dan Kemenkeu. Tahapan awal ini juga akan memprioritaskan pelayanan yang meliputi sektor pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, pembayaran digital, identitas digital, SIM online, izin keramaian, dan layanan aparatur negara. Hadirnya GovTech INA Digital ini memaksa K/L untuk tidak membuat aplikasi-aplikasi baru kecuali menginteroperabilitaskan dengan GovTech INA Digital.
Namun, peluncuran GovTech INA Digital hanyalah satu langkah kecil dalam perjalanan panjang reformasi birokrasi yang masih menghadapi tantangan besar terkait mindset dan budaya kerja. Selama lebih dari 10 tahun sejak Grand design Reformasi Birokrasi diluncurkan, permasalahan yang dihadapi masih sama, yaitu mind-set dan culture-set. Dalam acara seminar nasional reformasi birokrasi tahun 2021 lalu, Menko Polhukam saat itu, Mahfud MD, juga turut menyampaikan permasalahan yang menyebabkan lambannya implementasi reformasi birokrasi diantaranya pola pikir birokrat dan komitmen pimpinan. Pola pikir government oriented membuat ruwetnya prosedur pelayanan publik yang pada akhirnya menghadirkan calo-calo yang siap "mempercepat" proses tersebut. Kemudian, yang paling krusial adalah komitmen pimpinan dalam menciptakan good governance.
Perjalanan Panjang Setelah GovTech INA Digital
Peluncuran GovTech INA Digital oleh Presiden Joko Widodo pada SPBE Summit 2024 lalu merupakan terobosan penting dalam agenda transformasi digital sektor publik. Di satu sisi, ia menjadi katalisator untuk mempercepat reformasi birokrasi dengan mengurangi tumpukan kertas dan berkas fisik. Tetapi di sisi lain, GovTech INA Digital hanyalah satu langkah kecil dalam perjalanan panjang menuju reformasi birokrasi yang sesungguhnya dan berkelanjutan. Sebab, permasalahan inti yang selama ini menghambat laju reformasi justru terletak pada faktor non-teknologi, yakni mindset dan budaya kerja birokrat itu sendiri. Pola pikir birokrat yang cenderung berorientasi pada kepentingan internal pemerintah menjadikan prosedur pelayanan publik berbelit-belit dan membuka peluang bagi calo-calo untuk memungut biaya tambahan dengan iming-iming "mempercepat" proses. Belum lagi budaya kerja hierarkis, feodalistik, serta gaya kepemimpinan yang otoriter dan menutup diri terhadap perubahan turut menghambat inovasi dan kreativitas untuk terus memperbaiki kinerja birokrasi.