Mohon tunggu...
Fairuzul Mumtaz
Fairuzul Mumtaz Mohon Tunggu... profesional -

http://dialogkamboja.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Persambungan “Tak” di Kompas Minggu

12 Desember 2012   08:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:48 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13553009221225643217

Membaca cerpen Kompas Minggu (9/12) yang diisi sastrawan besar bernama Seno Gumira Ajidarma, membuat saya berkerut dan bertanya-tanya. Bukan lantaran cerpennya. Cerpen berjudul Seperseribu Detik Sebelum Pukul 16.00 mengalir saja dan cukup bisa dinikmati meski membiarkan pembaca membuat kesimpulannya sendiri di akhir cerita.

Saya mencoba bertahan membaca cerpen tersebut meski dengan keganjalan yang saya temui. Sederhana saja. Kata “tak”. “Tak”, tiga huruf satu saku kata itu cukup membingungkan bagi saya. Dalam cerpen tersebut, kata “tak” beberapa kali disebut dan penulisannya disambung dengan kata berikutnya. Misalnya kata “takbisa” dan “taktertahankan”. Umumnya, penulisan keduanya dipisah, “tak bisa” dan “tak tertahankan”. Cukup ganjil jika dalam cerpen tersebut penulisan “tak” dengan kata berikutnya disambung sehingga membentuk satu frase baru.

Sebelum kedua kata itu muncul pada paragraf ketujuh kolom kedua, kata “tak” sudah muncul di paragraf 6 di kolom yang sama. Tetapi peulisannya berbeda. Meski menjadi baris yang berbeda, jika menuruti persambungan “tak” maka setelah “tak” akan ada strip (-) kemudian dilanjutkan ke baris berikutnya. “tak-menemukan”, dituliskan “tak menemukan” dalam cerpen tersebut. Apakah “menemukan” merupakan kata kerja sehingga tak perlu disambung. Sementara kata yang lain tidak?

Tentu pertanyaan di atas tidak berlaku jika mencermati penyambungan “tak” dengan yang lainnya, seperti “takberkepak”, “takjelas”, takmenghendaki”, “taktahu”, “takpernah”, “takberedar”, “takseluruh”, “takdapat”, “taksuka”, “takbergerak”. Satu contoh lagi, “tak akan” dipisah dalam cerpen tersebut.

Pertanyaannya, apakah SGA membuat standar bahasanya sendiri dalam karyanya seperti dalam puisi Dorotea Rosa Herliany yang menghilangkan strip pada pengulangan kata? Apakah ini merupakan standar Kompas? Apakah ini standar bahasa Indonesia baru yang menganggap “tak” sebagai kata tak baku sehingga harus disambungkan dengan kata berikutnya untuk membakukannya? Jika demikian, kata seperti apa yang harus disambung dengan penulisannya dengan “tak”?

Melihat penulisan yang kadang pisah kadang sambung memunculkan kesimpulan awal dan sangat sederhana, bahwa SGA tidak konsisten. Jika penyambungan itu terjadi secara konsisten mungkin bisa dikatakan corak SGA dalam karyanya memang begitu, sebagaimana Dorotea dalam puisi-puisinya. Kalau ini dikatakan salah ketik, tentu saja tidak. Karena terjadi pada banyak kata. Atau Kompas yang tidak konsisten?

Tak puas dengan hal ini, kemudian saya membaca berita. Mencari jawabannya. Dalam beberapa halaman awal ditemukan penulisan kata “tak” seperti, “tak akan”, “tak mau”, “tak jauh”, ”tak ingin”, “tak lupa”, “tak sekadar”. Dengan menemukan penulisan kata “tak” pada halaman selain cerpen, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa Kompas tidak konsisten pada penulisan bahasa Indonesia. apakah penulisan bebas terjadi pada karya sastra? Umumnya, hal demikian terjadi pada puisi untuk menambah nilai estetis dan tipologinya. Sedangkan pada prosa (cerpen dan novel) belum pernah ditemukan (mungkin karena keterbatasan penulis). Meski demikian, tidak sertamerta tindakan sastrawan yang tersebut tidak dapat dibenarkan. Kepentingan bahasa bukan kepentingan personal sastrawan.

Penulisan “tak” ini bukan semata persoalan apakah itu kalimat lisan yang dituliskan (dalam dialog) atau kalimat naratif. Dalam cerpen SGA tersebut, nyaris seluruhnya ditulis dalam teks narasinya. Sementara dalam dialognya, SGA cenderung menggunakan kata “tidak” untuk mengatakan “tak”. Lagika terbalik dengan prosa kebanyakan. Menuliskan dialog dengan kata baku dan menuliskan narasi dengan kata tak baku.

Lalu bisa dibayangkan, koran sebesar Kompas yang katanya memiliki standarnya sendiri dan bahkan mampu membentuk opini publik tentang kebahasaan, ternyata tak menemukan konsistensinya, membiarkan sastrawan besar berbasis jurnalis itu merasa berhak membuat standar bahasa sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun