Mohon tunggu...
Fairuzul Mumtaz
Fairuzul Mumtaz Mohon Tunggu... profesional -

http://dialogkamboja.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

2060; Pemilu Online

2 April 2013   17:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:51 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kampanye politik sebagai upaya terorganisir guna meraup simpatisan masyarakat seolah-olah telah menembus ruang dan waktu. Nyaris setiap hari, di jalan dan tempat-tempat tertentu bisa kita temukan asesoris partai menghiasi ruang kota. Ruang maya (dunia virtual), termasuk sosial media, tak luput dari perhatian awak politik.

Setidaknya, kita bisa mencatat 10 media sosial paling popular; Facebook, Twitter, Google +, Youtube, Myspace, LinkedIn, Flickr, Friendster, Orkut dan Koprol. 10 media sosial inilah yang paling banyak menyedot akun dan terjadi komunikasi setiap harinya. Komunikasi intens inilah yang menjadi salah satu alasan kampanye di ruang virtual.

Kampanye politik melalui sosial media ini diharapkan mampu memaksimalkan peran dengan biaya minimal. Selain efektif, jalur ini memungkinkan komunikasi personal di ruang publik yang privat. Tak ayal jika Panwaslu pun merasa kewalahan.

Meski demikian, KPU bisa juga memanfaatkan sosial media sebagai sarana menggelar pesta demokrasi atau pemulihan umum (Pemilu). KPU dan media sosial tertentu dapat bekerjasama menciptakan sebuah aplikasi yang “terjamin” untuk tujuan tersebut. Aplikasi tersebut akan berisi visi misi partai dan calon beserta programnya yang dapat dibaca langsung oleh pemiliki hak suara.

Begitu pemilik hak suara memberikan centang pada gambar yang telah diyakininya, lalu tekan oke, data akan langsung masuk ke data KPU tanpa penghitungan manual terlebih dahulu. Efektif, praktis dan cepat.

Akun Palsu

Inilah masalah awal yang akan muncul. Seperti Pemilu manual yang mendatangi bilik pemilihan, dikhawatirkan ada pemilih ganda. Pemilih palsu. Tim sukses peserta Pemilu akan menggunakan pemilih siluman. Maka dibutuhkan saksi dari yang tidak sedikit jumlahnya. Kemunculan akun palsu merupakan efek dari kehadiran internet itu sendiri. Media sosial memungkinkan seseorang untuk merekonstruksi dirinya sendiri sesuai kemauan.

Melalui Pemilu berbasis internet, gambaran di atas dapat diminimalisir dengan dua cara. Pertama, standarisasi akun. Kita tentu masih ingat awal kemunculan handphone. Kita bisa bebas membeli kartu perdana dan memasukkannya ke dalam handphone, lalu bisa digunakan. Kemudian muncul kebijakan bahwa pemilik nomor handphone harus mendaftarkan diri sesuai dengan kartu identitasnya, begitu pula jika membeli kartu perdana. Hal ini bisa diterapkan pada sosial media. Adakan peringatan melalui semua media massa dalam kurun tertentu. Jika tidak mengikuti standarisasi, pilihannya akan diblockir atau tidak mendapatkan hak suara dalam Pemilu.

Kedua, E-KTP. Dengan adanya E-KTP, data masyarakat Indonesia telah otomatis terekam dan dapat dilacak secara online. Hal ini tentu lebih memudahkan KPU. Dengan adanya data tersebut, KPU dapat menyeleksi atau digunakan sistem otomatis yang dapat menjaring usia yang memiliki hak suara. Data E-KTP adalah data tunggal. Tidak mungkin ganda.

Pemberantasan Buta Internet

Hingga sekarang, di beberapa daerah masih dilaksanakan program Pemberantasan Aksara. Inilah tuntutan jaman. Semua orang diwajibkan dapat membaca dengan harapan akan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Bebarengan dengan itu, masih digalakkan juga program Wajar (Wajib Belajar) Sembilan Tahun, SD - SMP. Dalam program Wajar tersebut, internet masuk dalam kurikulum.

Agar tak mengulangi hal yang sama, perlu dikampanyekan mulai sekarang. Masyarakat Indonesia disarankan memiliki akun media sosial. Mungkin akan sangat menyulitkan, tapi ini akan berguna di masa depan. Meski demikian, program Pemberantasan Buta Internet tetap harus dicanangkan karena kita tak bisa hanya berharap dari kampanye dini ini.

Kenapa 2060?

Perputaran sejarah dunia biasanya berlangsung setiap 30 tahun sekali. Mengutip teori dari Filsuf asal Spanyol, Jose Ortega Y. Gasset yang menyatakan bahwa pergantian sejarah biasanya berlangsung setiap 30 tahun sekali. Dengan teori tersebut, mari kita lihat sejarah bangsa kita. Penjelasan di bawah ini, saya kutipkan dari tulisan Ayu Arman, Demi Kemerdekaan Murung Raya, Sebuah Biografi. Bagian Akhir.

Beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa berdiriya Budi Utomo pada tahun 1908 disepakati sebagai awal bangkitnya nasionalisme Bangsa Indonesia. Setelahnya, muncul Gerakan Pemuda Ambon, Syarikat Dagang Islam (1912) di Surabaya, Partai Hindia atau IP (Indische Partij) (1912) Bandung, Jong Pasundan berdiri Jakarta 1914, Pasundan (Paguyuban Pasundan) 1915, Tri Koro Dharmo didirikan di Jakarta di bawah pimpinan dr. Satiman untuk mempersatukan pelajar-pelajar dari pulau Jawa, kemudian bernama “Jong Java”. 1917, para pelajar Sumatra juga mendirikan Jong Sumatranen Bond di Jakarta.

Juga berdiri Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926. Tahun 1927, Soekarno dan Algemeene Studie Clubnya memprakarsai pembentukan partai Perserikatan Nasional Indonesia, dengan Sukarno sebagai ketuanya. PNI ini berpolitik noncooperatie. Lalu tahun 1928 berdirilah Perkumpulan Pemuda dan Pemudi di Bandung, di mana kemudian organisasi ini diubah menjadi Pemuda Indonesia.

Dari sejarah Budi Oetomo (1908) itu, jika dikaitkan dalam rumusan Jose Ortega Y. Gasset, kita akan berjumpa dengan tahun 1938. Dalam rentang tahun ini (1908-1938), lahirlahSumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sebuah peristiwa yang melahirkan entitas “kita” untuk menggantikan identitas “kami” yang sebelumnya mewakili beragam etnis dan suku bangsa di dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda. Sehingga lahirnya entitas kebangsaan yang menegaskan persamaan nasib; sekaligus keinginan untuk mengubah nasib itu sendiri dan kebutuhan untuk menjadi satu dalam menghadapi kolonialisme.

Di tahun yang sama, sejarah juga mencatat sebagai peristiwa terbentuknya Gapi (Gabungan Politik Indonesia). Sebuah payung organisasi dari partai-partai dan organisasi-organisasi politik yang merupakan persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia dengan semboyan "Indonesia berparlemen". Organisasi ini mengajak rakyat Indonesia dan Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme. Kerja sama akan lebih berhasil apabila rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat, akan bertanggungjawab kepada parlemen tersebut dengan tujuan kesejahteraan rakyat Indonesia dan memberi kesempatan pada cita-citanya.

Dari peralihan tahun 1938 menuju 30 tahun ke depan, akan ketemu tahun 1968. Rentang tahun 1938-1968 ini, politik menjadi sandaran utama dalam pembentukan kenegaraan, yang kemudian dicatat sebagai peristiwa revolusi oleh Soekarno demi memerdekaan Bangsa Indonesia dari penjajahan. Di masa inilah, titik-titik perjuangan Soekarna memerdekan Tanah Air, tepatnya 17 Agustus 1945. Namun, karena politik pulalah, ia jatuh dari kursi kepresidenan pada tahun 1966. Pada masa tahun 1938-1968 sejarah kita mencatat sebagai masa Orde Lama.

Dari peralihan tahun 1968 menuju 30 tahun ke depan, tahun 1998. Dalam masa rentang tahun ini (1968-1998), kronik sejarah mencatatnya sebagai masa orde baru. Sebuah masa perumusan model ekonomi negara, yang kemudian dirangkum dalam buku dasar-dasar pemikiran tentang akselerasi modernisasi pembangunan 25 tahun ke depan, yang dikenal dengan istilah Replita. Sehingga, pada era ini pembangunan dan perkembangan ekonomi tanah air berkembang pesat. Namun, tepat 30 tahun dari hitungan tahun 1968,presiden Soeharto lengser dari kursi kepresidenannya karena faktor ekonomi pula pada tahun 1998.

Lengsernya Soeharto ini kemudian menjadi pembuka era reformasi pada tahun 1998. Dari tahun 1998 jika kita jumlahkan dengan 30 tahun ke depan, akan ketemu pada tahun 2028. Itu artinya 100 tahun kebangkitan nasional. Pada rentang masa-masa ini sejarah kita mencatat sebagai pembuka era reformasi. Era yang bekerja adalah sosial alias masyarakat. Isu atau kabar apapun, masyarakatlah yang menentukan. Sosial media misalnya, mulai dari facebook, twiteer dan lainnya, semua terbuka dan menjadi alat politik. Dari pemilihan bupati hingga presiden dipilih langsung oleh rakyat. Apakah rezim era reformasi ini akan berakhir pada peralihan tahun 2028 itu?

Lalu kenapa tidak 2030? Bagi bangsa maju, mungkin bisa dilaksanakan pada tahun itu. Tapi bagi bangsa Indonesia, rasanya masih perlu perputaran 30 tahun lagi. Kita bisa lihat dengan jelas, program E-KTP belum rampung dan bahkan memicu persoalan lain karena salah cetak atak data tak ditemukan padahal sudah input data. Pemberantasan buta aksara belum juga tuntas di beberapa daerah. Dan terakhir, kesadaran pendidikan masyarakat Indonesia masih sekadar candu. Maka diperlukan perputaran tahun 2060.

Kelemahan sebagai Indikasi Kecurangan

Tak ada suatu hal tanpa kelemahan. Tak ada yang sempurna, katanya. Bukan berarti lalu mengugurkan ketidasempurnaan itu. Kita bisa menganalisanya dan kemudian mengantisipasi sebisa mungkin. Kelemahan ini memungkinkan adanya kecurangan dalam Pemilu. Kelemahan-kelamahan tersebut kira-kira bisa dideteksi seperti di bawah ini:

Pemalsuan Identitas

Secara pribadi, saya hanya menyaksikan pemalsuan identitas di film-film. Tak pernah melihat langsung. Jika memiliki identitas palsu, seseorang dapat membuat akun media sosial yang berbeda. Hal ini juga disebabkan sistem kepemilikan identitas tidak tunggal. Saya sebagai seorang pribadi memiliki 3 kartu tanda pengenal; KTP, SIM, dan Kartu Mahasiwa. Belum lagi jika satu nama tercantum dalam beberapa Kartu Keluarga. Ini cukup rawan. Revitalisasi data dari rekaman E-KTP harus terus diupdate paling tidak tiap satu semester.

Rawan Hacker

Begitulah riskannya jaringan terbuka ala internet. Semua bisa masuk meski tanpa tanda pengenal. Hacker dan virus selalu saja menjadi ancaman. Untuk itu dibutuhkan sistem aplikasi yang bisa “menjamin” dari kelemahan ini.

Ego Penguasa

Ego penguasa akan menolak demokrasi melalui media sosial ini dengan berbagai cara. Penguasa semacam ini tidak memiliki kecanggihan IT untuk membobol sistem aplikasi. Penguasa bodoh namanya. Dan ia akan khawatir jika kecurangan yang pernah ia lakukan tak bermanfaat lagi. Sebab lainnya, kehilangan proyek.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun