Dalam abad 21 ini, teknologi menjadi suatu hal yang fundamental dalam kehidupan umat manusia, yang di mana dengan adanya teknologi dapat memudahkan manusia sendiri dalam melakukan keperluannya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Selain dampak positif yang diperoleh dari peran teknologi itu sendiri, dampak negatif pun juga turut menjadi faktor yang diperoleh dari peran teknologi, khususnya dalam teknologi informasi.
Seiring dengan berkembangnya dampak negatif inilah yang menjadi alasan tentang pembentukan regulasi Cyber ethics yang merupakan pembentukan peraturan yang mencakup norma-norma serta perilaku masyarakat dalam berinternet di dunia maya yang di mana dengan adanya regulasi Cyber ethics dapat menjamin rasa khawatir masyarakat dalam berinteraksi serta bertransaksi (e-commerce) di dunia internet.
Walaupun dengan adanya Cyber ethics tidak cukup untuk menanggulangi beberapa hal yang melanggar hukum di dunia internet, contoh kasus di Indonesia adalah kasus penipuan online yang marak terjadi di beberapa e-commerce dan media sosial, kasus penyebaran berita palsu yang menyebabkan terjadinya pertikaian dan kebencian antar SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antar golongan) di berbagai media platform media komunikasi seperti WhatsApp, Telegram dan juga media sosial seperti Facebook.
Kasus lain terkait permasalahan norma kemanusian adalah kasus Cyber Bullying yang juga marak dan sering di temui di mana pun di internet termasuk di Indonesia sendiri.
Cyber bullying atau perundungan dunia maya merupakan tindakan penindasan atau perundingan yang dilakukan secara agresif dan secara berulang terhadap suatu kelompok atau individu yang susah untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan teknologi digital atau media elektronik (media sosial), contohnya seperti menyebarkan kebohongan terkait suatu kelompok atau individu di media sosial, mengirim pesan ancaman, mengucilkan terhadap suatu kelompok atau individu, menyebarluaskan hal-hal yang merusak nama baik seseorang atau kelompok yang berdampak pada mental, emosional, serta fisik korban.
Dari semua permasalahan yang terjadi tadi menandakan perlunya diberlakukan pendekatan antara teknologi dengan norma sosial yang dapat di edukasikan oleh instansi-instansi terkait yang bertanggung jawab seperti lembaga masyarakat atau pemerintah itu sendiri.
Hal lain yang menjadi dampak dari teknologi informasi dan telekomunikasi adalah dengan adanya kejahatan di internet atau biasa disebut Cyber crime seperti melakukan peretasan (Hacking) seperti kasus yang terjadi di Indonesia sendiri di mana pada bulan Mei 2020 sekitar 91 juta akun Tokopedia bocor karena peretasan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, dan selain Tokopedia, perusahaan Bukalapak juga sempat mengalami kebocoran data pada 5 Mei 2020, di mana 13 juta akun Bukalapak diduga bocor dan diperjualbelikan di forum tertentu oleh seorang peretas asal Pakistan yang menggunakan nama Gnostic Players.
Pemerintahan Indonesia juga tidak luput dari kebocoran data akibat ulah Hacker (peretas) yang di mana pernah terjadi pada 20 Mei 2020 lalu pada 230 ribu data pasien COVID-19 di Indonesia yang bocor dengan cara diretas dan di perjual belikan di forum-forum gelap.
Dari hal tersebut masyarakat seharusnya mendapatkan perlindungan atas data privasi masing-masing, seperti yang tertera pada pasal 28G ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.