Mohon tunggu...
Faiq Aminuddin
Faiq Aminuddin Mohon Tunggu... Guru - Guru

pelayan pelajar Irsyaduth Thullab dan penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Muntah Darah

7 Oktober 2024   11:53 Diperbarui: 7 Oktober 2024   11:57 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Misteri Muntah Darah

Cerita Anak oleh Faiq Aminuddin

Ani namanya. Gadis kecil yang tinggal di pedesaan ini suka berpetualang. Hampir setiap pagi Ani mengayuh sepedanya. Adi suka keliling desa dengan sepeda mininya.

Bila bapak bepergian, Ani selalu ingin ikut. Biasanya bapak bepergian naik sepeda motor bersama ibu. Ani jarang sekali naik mobil. Ani lebih nyaman naik sepeda motor daripada naik mobil. Menurut Ani, naik motor lebih terasa segar.

Pada suatu sore, Ani ikut bapak dan ibu pergi ke rumah kakek. Ani biasanya menyebutnya 'Eyang Kakung'. Eyang kakung dan nenek adalah orang tua bapak. Mereka berdua tinggal di kota kecamatan. Ani, bapak ibu berencana menginap di rumah Eyang Kakung.

Mereka bertiga naik sepeda dengan pakaian lumayan lengkap. Bapak mengingatkan Ani saat bersiap-siap.

"Jangan lupa pakai jaket dan kacamata, Nak. Kalau sore biasanya banyak Samber Mata."

Ani pun memakai kacamata besarnya. Lensanya bening dan berbentuk lingkaran. Bingkainya hitam. Ini bukan kaca mata untuk bergaya tapi lebih untuk keamanan.

Perjalanan dari desa Ani menuju kota kecamatan melewati jalan yang membelah persawahan. Biasanya, saat sore hari banyak serangga yang berterbangan. Beberapa serangga sering tertabrak wajah dan mata para pengendara motor yang lewat. Serangga inilah yang disebut bapak sebagai Samber Mata.

"Mengapa di jalan yang dekat sawah banyak serangganya?" tanya Ani penasaran.

"Serangga itu kan termasuk hama tanaman padi. Jadi, hidupnya ya di persawahan," jawab bapak.

"Kalau yang hidup di perkampungan, itu namanya bukan serangga atau warga desa," sahut ibu bercanda.

Mereka bertiga pun tertawa bersama.

Ani sudah siap dengan helm kuning, kacamata kuning dan jaket kuning. Semua serba kuning. Kuning memang warna kesukaan Ani.

Ani sudah tahu kalau Samber Mata bisa menyebabkan iritasi mata. Jadi, Ani memastikan kaca matanya tidak ketinggalan. Ani juga tidak mau kulitnya gatal karena terkena serangga. Maka, memastikan resleting jaketnya sudah benar-benar rapat.

Serangga kecil-kecil itu biasanya tertarik dan meluncur ke arah sumber cahaya. Salah satu sumber cahaya yang diserbu Samber Mata adalah lampu sepeda motor dan mobil yang sedang melintas.

Perjalanan dari rumah Ani sampai rumah Eyang Kakung, biasanya butuh waktu sekitar setengah jam. Sore itu mereka berangkat dari rumah sekitar jam lima sore. Jadi, mereka akan sampai di rumah Eyang Kakung sekitar setengah enam.

Sebenarnya ibu usul agar mereka berangkat lebih siang. Tapi siang itu Ani ada kegiatan latihan pramuka di sekolah. Jadi, terpaksa mereka melakukan perjalanan di senja hari.

"Semoga perjalanan kami lancar. Semoga kami selamat di perjalanan. Amin." Ibu berdo'a dengan suara pelan sambil menyiapkan bingkisan.

Ibu memasukkan beberapa sisir pisang ke dalam tas keranjang. Beberapa hari yang lalu Bapak memanen setandan pisang dari kebun di belakang rumah. Pisang termasuk buah kesukaan Eyang Kakung. Ani juga suka pisang, apalagi pisang Emas yang berwarna kuning.

Bapak mengendarai sepeda motor dengan santai, tidak mengebut. Perjalanan terpaksa lebih pelan saat melewati jalan yang membelah persawahan. Beberapa badan jalan sudah berlubang.

Ngeng

Ngeng

Tiba-tiba ada dua sepeda motor yang menyalip dari belakang. Sepertinya mereka adalah rombongan pedagang bakso keliling yang sedang perjalanan pulang. Mungkin mereka sedang terburu-buru. Terlihat kotak tempat dagangan mereka bergoyang-goyang karena jalanan bergelombang.

Brak!

Tiba-tiba salah satu kotak bakso terlempar dan jatuh ke tengah jalan. Beberapa bulatan bakso berserakan di jalan. Kuah bakso pun tumpah membasahi jalan.

Bapak tidak mungkin menghentikan sepeda motornya karena di belakangnya ada mobil. Bapak mencoba menghindari agar tidak menabrak kotak bakso tapi malah jatuh karena roda depan terpeleset kuah bakso.

Melihat Ibu dan Ani terlempar ke tepi jalan. Bapak segera berlari menghampiri. Ani menangis. Ada darah di mulutnya. Tangan ibu masih memegang tas keranjang tapi pisangnya sudah berserakan kocar-kacir.

"Ayo, Pak, kita bawa ke puskesmas!" ajak ibu.

"Iya. Sebentar, saya pindahkan motor dulu," jawab bapak.

Bapak menuntun motor ke pinggir jalan dibantu oleh abang penjual bakso.

Bapak coba memeriksa sepeda motornya kembali. Bapak berharap sepeda motornya masih aman untuk dikendarai. Tapi ternyata lampunya pecah. Rem roda depan juga rusak. Menurut bapak, berbahaya bila naik motor tanpa lampu dan rem. Apalagi hari semakin senja. Suasana jalan juga semakin gelap.

"Maaf, Pak... Ada yang bisa kami bantu?"

Bapak menoleh ke arah suara di belakangnya. Ternyata beliau adalah kepala desa.

"Ya, pak lurah. Ini anak saya berdarah. Mungkin bisa diantar ke puskesmas."

"Mari, Bu. Tolong anaknya dibawa ke mobil. Bapak di sini dulu nanti biar dijemput oleh perangkat desa," kata pak lurah sambil menelpon.

Di dalam mobil Ani merasa pusing. Badan Ani juga menggigil kedinginan. Menurut Ani, AC mobil pak lurah terlalu dingin. Ani juga tidak terbiasa dengan bau wangi pengharum mobil. Ani pun semakin pusing dan mual.

Selama perjalanan menuju Puskesmas, Ani menahan agar tidak muntah di dalam mobil. Begitu sampai di Puskesmas. Ani langsung muntah saat baru sampai di depan pintu IGD. Muntahannya tercampur sedikit darah.

Para petugas berseragam serba putih pun segera mengangkat Ani dan membawanya masuk ke ruang IGD. Mulut Ani dibersihkan dan diperiksa.

"Adik manis siapa namanya?" tanya bu dokter.

"Ani," jawabnya pelan.

"Adik Ani bisa cerita tadi kejadiannya bagaimana?"

Ani menggeleng.

Bu dokter memberi Ani minum air putih.

"Tadi yang jatuh kepala dulu atau kaki dulu?" tanya bu dokter.

Ani memandang ke arah ibu.

Ibu menggelengkan kepala. Ibu juga tidak begitu ingat. Yang pasti mereka berdua tiba-tiba sudah berada di tepi jalan.

"Yang sakit apanya, Dik?"

Ani menunjuk ke arah mulut.

"Apakah kepalanya sakit?"

"Ya masih agak pusing."

"Tadi muntah berapa kali?"

Ani menjawab dengan isyarat jari telunjuknya.

Bu dokter melanjutkan memeriksa badan Ani mulai kepala sampai ke kaki. Bu Dokter juga memeriksa mulut dan mata Ani dengan senter kecil.

"Bagaimana, bu Dokter? Apakah aman?" tanya pak lurah.

Bu dokter tersenyum sambil mengajak pak lurah menuju ke meja dokter. Ani dan ibu tidak mendengar mereka sedang bicara apa. Beberapa saat kemudian, pak lurah menghampiri Ani dan ibu.

"Maaf, bu. Biar lebih aman, Ani kita bawa ke rumah sakit," usul pak lurah.

Ibu sangat terkejut. Ibu pun mengajak pak lurah menjauh dari Ani.

"Apakah Ani sakit parah?"

"Semoga saja tidak," jawab pak Lurah. "Tapi agar lebih aman, perlu dilakukan CT Scan."

Ibu tidak tahu apa itu CT Scan.

"Saya ikut saran pak lurah dan bu dokter saja. Yang penting anak saya selamat."

Beberapa saat kemudian bapak datang. Bapak naik mobil siaga desa. Bapak juga setuju dengan saran pak lurah. Maka Ani pun dirujuk kerumah sakit di kota kabupaten. Ani, ibu dan bapak naik mobil siaga desa. Adapun pak lurah minta maaf tidak bisa ikut menemani.

"Semoga lekas sembuh ya, Nak..." kata pak lurah sambil memberikan beberapa lembar uang ke tangan Ani.

"Terima kasih, Pak Lurah," jawab Ani sambil tersenyum.

"Aduh!" Ani meringis.

"Kenapa, Nak?" tanya ibu dan pak lurah bersamaan.

"Tidak apa-apa. Bibir Ani sakit kalau dibuat tersenyum.

Bapak, ibu dan pak lurah pun tertawa kecil.

Yang sangat dikhawatirkan pak lurah adalah gegar otak. Pak lurah tidak ingin ada warga desanya yang sakit parah. Oleh karena itu pak lurah meminta dokter puskesmas membuatkan rujukan untuk Ani agar diperiksa dengan alat yang lebih canggih seperti CT Scan.

Di tengah perjalanan, Ani muntah lagi. Satu jam kemudian mereka sampai di rumah sakit. Setelah antri dan menunggu di ruang IGD, akhirnya Ani diantar ke ruang CT Scan. Ani duduk di atas kursi roda. Ibu berjalan di samping kanan kursi roda. Bapak berjalan sambil bertanya-tanya dengan petugas yang mendorong kursi roda Ani.

Beberapa saat kemudian, mereka sampai di depan pintu yang bertuliskan 'Ruang CT Scan'. Di dalam ruangan tersebut ada meja dan alat sebuah terowongan berbentuk seperti donat besar.

Ani diminta untuk tidur telentang di atas meja di depan terowongan tersebut. Pelan-pelan meja tersebut masuk ke dalam terowongan. Tidak lama kemudian meja tersebut keluar lagi. Ani pun diminta turun dan kembali ke kursi roda.

Selanjutnya Ani, ibu dan bapak menunggu hasil CT Scan. Ani merasa lapar. Bapak pun segera membeli makanan dan minuman di kantin rumah sakit.

Setelah beberapa saat, dokter akhirnya datang untuk memberikan hasil CT Scan. Ani, ibu, dan bapak duduk di ruang tunggu dengan penuh kecemasan.

"Selamat malam," sapa dokter sambil tersenyum. "Hasil CT Scan menunjukkan bahwa Ani tidak mengalami gegar otak. Hanya ada beberapa memar ringan di bibirnya. Kami akan melakukan perawatan lebih lanjut untuk memastikan semuanya baik-baik saja."

Ibu dan bapak merasa sangat lega mendengar berita tersebut.

Dokter melanjutkan, "Kami sangat bersyukur Ani mengenakan helm saat kejadian. Helm itu melindungi kepalanya dari benturan keras. Kalau Ani tidak memakai helm, mungkin saja kepalanya terluka saat jatuh."

"Bagaimana dengan mulut Ani?" tanya ibu, cemas.

"Beberapa gigi Ani memang copot, tetapi tidak ada kerusakan serius pada bagian dalam mulut atau gusi. Kami akan merujuk Ani ke dokter gigi untuk perawatan lebih lanjut. Selama beberapa hari ke depan, Ani perlu istirahat dan menghindari makanan yang keras agar mulutnya cepat sembuh."

Ibu mengangguk dengan penuh syukur. "Terima kasih, Dokter. Kami akan mengikuti semua saran."

Dokter kemudian memberikan beberapa petunjuk mengenai perawatan dan mengingatkan pentingnya keselamatan saat berkendara.

"Selain itu, saya juga ingin menekankan pentingnya keselamatan di jalan. Pastikan selalu menggunakan helm yang sesuai dan memperhatikan kondisi kendaraan. Ini bisa sangat membantu mencegah cedera serius."

Bapak dan ibu mengucapkan terima kasih kepada dokter. Setelah memastikan semua informasi diperoleh, mereka pun membawa Ani pulang ke rumah.

Meskipun Ani masih merasa sedikit tidak nyaman, suasana hati keluarga menjadi lebih cerah. Mereka bersyukur atas keselamatan Ani dan bertekad untuk lebih berhati-hati di masa depan. Ani, yang kini sudah mulai merasa lebih baik, berjanji akan selalu mengikuti nasihat orang tua dan mengenakan perlengkapan keselamatan setiap kali bepergian.

Begitulah, petualangan sore yang penuh ketegangan itu berakhir dengan pelajaran penting tentang keselamatan dan keluarga. Bapak segera mengabari sopir mobil siaga desa. Sebelum mengantar Ani pulang, pak sopir menelpon pak lurah dan memberitahu hasil CT Scan Ani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun