Sepekan ini kita telah dibuat "demam" dengan perhelatan akbar sejagat Asia. Perhelatan bergengsi se-Asia ini tidak hanya dilirik oleh bangsa Indonesia saja, tetapi juga menyedot perhatian di dunia Internasional.
Perhari ini Indonesia sudah mengantongi 24 medali emas. Dan menjadi urutan keempat teratas dari perolehan medali emas seluruh negara-negara asia yang ikut di perhelatan akbar sejagat Asia ini.
Ada rasa decak kagum yang membuat hati kita menjadi bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Bagaimana tidak bangga, dengan perhelatan sejagat Asia ini kita membuktikan bahwa bangsa Indonesia punya kemampuan dalam menghadapi bangsa-bangsa Asia yang lain. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang tidak bisa apa-apa. Kita punya kekuatan, kita punya kehebatan, kita punya daya saing dalam mengahadapi persaingan dengan bangsa yang lain.
Walau pun ini kelasnya adalah bidang olahraga, tapi tidak menutup kemungkinan di bidang-bidang yang lain kita punya keunggulan kompetitif dan komparatif dengan negara lain. Di bidang sains, bangsa kita banyak mengikuti lomba bergengsi di dunia internasional. Selain itu juga, di bidang keagamaan, kita punya ulama-ulama yang memiliki karya yang diakui dan menjadi rujukan ulama-ulama dunia. Juga dengan bidang-bidang lainnya.
Masalahnya sekarang adalah, kita rasanya sulit sekali untuk menghargai prestasi-prestasi anak bangsa tersebut. Kita kurang bangga dengan apa yang telah dicapai putra putri terbaik bangsa. Padahal itu bisa menjadi barometer generasi muda untuk mengikuti langkah para seniornya yang luar biasa prestasinya.
Dari analisa saya, kita terbelenggu dengan urusan pemilu, khususnya pilpres. Sejak pilpres tahun 2014, kita selalu terpecah menjadi dua kelompok. Padahal kita ini adalah anak bangsa yang sama-sama lahir di Indonesia.
Satu golongan mendukung kelompok A, satu golongan lagi mendukung kelompok B. Kalau perbedaan tadi menghasilkan satu gagasan atau ide yang luar biasa dalam perbedaan tadi si tidak menjadi persoalan, yang menjadi penyakit adalah masing-masing golongam merasa paling benar sendiri dan tidak mau mengalah.
Bukannya mendiskusikan suatu problem persoalan sehingga memunculkan satu pemecahan masalah, yang ada di akar rumput dan juga sebagian para elit kita adalah menghasilkan saling caci mencaci, hujat menghujat, saling jatuh menjatuhkan, dan lainnya yang menunjukkan ke arah yang tidak sehat.
Tidak ada masing-masing dari golongan ini yang memuji apa yang telah menjadi capaian secara objektif kalau memang ada yang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan membanggakan. Tetapi alih-alih memuji, yang keluar dari mulut hanyalah umpatan dan kata-kata keji saja.
Saya jadi teringat sebuah ungkapan yang mengatakan, cintailah sesuatu sewajarnya, karena boleh jadi suatu saat nanti kamu akan membencinya, dan bencilah sesuatu dengan sewajarnya, karena boleh jadi suatu saat kau mencintainya.
Semoga kita semua menjadi anak bangsa yang bisa menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Sekeras apapun perbedaan dalam pemilu nanti, kita tidak boleh menciderai bangsa kita sendiri.