Mohon tunggu...
Failing Liberty
Failing Liberty Mohon Tunggu... -

Secara perlahan, namun pasti, kebebasan akan terenggut saat menyadari kenyataan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Miskin, Kaya, dan...

5 Februari 2014   00:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Banyak teman-teman saya, apalagi yang perempuan, mengatakan kalau saya ini aneh. Ketika mereka mengatakan hal itu, saya tidak merasa tersinggung atau sakit hati, malah saya merasa seperti dipuji. Apa itu artinya saya benar-benar aneh? Tolong dijawab. Jadi, di sini saya ingin menyampaikan sebuah pemikiran saya yang mungkin juga dianggap aneh.

Miskin. Sebuah keadaan di mana kita merasa selalu kekurangan. Miskin dapat menyebabkan kesengsaraan, kebodohan, dan kelalaian. Kita semua pasti takut miskin, takut akan kekurangan. Memangnya ada orang yang mau hidup menderita? Kebanyakan kita hidup pasti mencari bahagia. Bahkan dalam mencinta pun yang katanya siap melakukan apa saja masih takut merasakan derita.

Banyak lagi cara orang mengartikan kemiskinan ini. Bisa dari berapa jumlah penghasilannya, bisa dari cara penampilannya, bisa dari apa yang dipunya. Bahkan negara pun membuat batasan kemiskinan bagi para rakyatnya sendiri. Miskin memang adalah sebuah pilihan yang buruk dalam hidup. Jadi, jangan pernah coba-coba mengatakan untuk mau jadi miskin. Apalagi miskin ilmu dan miskin hati.

Selanjutnya ada kaya. Dalam KKBI, kaya berarti memiliki banyak harta. Kaya ini masih bisa naik tingkat menjadi kaya raya. Masih berdasarkan KKBI juga, kaya raya artinya mempunyai harta banyak sekali. Orang kaya juga kadang disebut sebagai konglomerat. Banyak orang yang ingin dan berusaha menjadi kaya. Mengapa tidak? Kalau mereka menjadi kaya, mereka berpikir bisa mendapatkan apa saja. Mereka berpikir hidup mereka akan lebih mudah. Mereka berpikir hidup mereka akan bahagia.

Tapi, apa itu benar? Bisa saja. Tak semua orang kaya yang merasa bahagia. Tidak semua orang kaya hidupnya mudah. Malah, kebanyakan mereka hidup dengan tak tenang. Tidak semua orang kaya yang bisa mendapat apa yang mereka inginkan. Kata-kata kaya membuat orang menjadi gila harta dan bergantung pada itu semua. Sayang sekali kalau kaya tapi seperti itu.

Miskin sepertinya salah, kaya juga berisiko, ada usul yang lain? Saya mengatakan ada. Sebelum saya menyampaikannya, harap diingat, mungkin saja apa yang saya sampaikan akan terdengar sok dan aneh. Jadi, rasa-rasakan saja kalau tak mau memikirkannya. Pilihan selain miskin dan kaya adalah berkecukupan.

Berkecukupan ini merupakan seloroh saya dengan teman-teman. Saya sering mengatakan, tidak perlu kaya, yang penting berkecukupan. Kalau mau beli mobil, uangnya cukup. Kalau mau beli rumah, uangnya juga cukup. Kalau mau bangun hotel, dananya cukup. Kalau mau beli kapal pesiar, uang yang ada juga cukup. Hidup itu yang penting cukup dan memuaskan.

Sesederhana itukah? Tidak. Berkecup-kecupan, eh, maksudnya berkecukupan. Berkecukupan yang saya inginkan memang seperti yang di atas, tapi ada makna yang lebih dalam lagi dari itu semua. Yang merasa berkecukupan walaupun penghasilannya pas-pasan tidak bisa dianggap miskin. Salah satu arti miskin tadi adalah serba kekurangan. Kalau ada orang yang kaya yang masih belum merasa cukup dengan hidupnya, lalu merasa kekurangan, pantas, kan, kalau saya mengatakan orang kaya itu sebenarnya miskin?

Apa semudah itu merasa cukup? Merasa cukup ini adalah fase di mana saat kita merasa puas dengan apa yang kita peroleh. Tidak semua hal yang kita dapat mampu memberikan kepuasan. Karena itu, kunci untuk menjadi cukup yang berikutnya adalah ikhlas. Dengan ikhlas, kita mampu menerima apa saja. Baik itu terjangan badai, hantaman ombak, hempasan bumi, sampai pukulan matahari pun tak akan mempan.

Untuk mendapatkan ikhlas? Kita bisa mendapatkannya dengan cara bersyukur. Bersyukur pada Allah atas penghasilan yang kita peroleh. Apa kita pernah menyadari, saat kita mendapatkan sesuatu, baik itu kecil atau besar, kemudian mengucapkan Alhamdulillah, tiba-tiba hati ini merasa sudah puas. Kita merasa ikhlas atas apa yang kita dapat, kita merasa cukup dengan itu.

Setelah cukup, apa kita harus hidup begitu-begitu saja? Jangan! Kalau kita hidup penuh bersyukur pada Allah, berarti kita juga ingin menjadi lebih baik dari yang sekarang. Sungguhpun kita mungkin tak merasa untuk mencoba lebih baik, tapi Allah akan menuntun kita untuk menjadi lebih baik. Karena kita bersyu-kur! Saat kita bersyukur ini, kita juga akan mampu melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Saya bukan ahli agama, apalagi pakar sosiologi. Hanya saja, berpikir seloroh dan aneh adalah sebuah hobi. Jadi, jika ada tulisan saya di atas ada yang menyinggung, tolong diperingati. Ada yang salah, tolong diperbaiki. Ada yang kurang, bisa dicukupi. Ada yang berlebih, berpandai-pandai saja mengolahnya. Sekian, terima kasih. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun