Setelah turunnya presiden lama dan naiknya presiden yang baru, berbagai macam polemik tampak terjadi. Ada yang berterima kasih kepada yang lama dan memindahkan harapan mereka ke yang baru. Ada pula menghujat yang lama, tapi tidak peduli dengan yang baru. Ada yang menghujat presiden lama, namun berharap pada yang baru. Parahnya, siapa pun presidennya, mereka tetap menghujat keduanya. Masih mendingan kalau tidak peduli.
Di sebuah halaman facebook, saya melihat status sebuah halaman itu berterima kasih kepada presiden yang lama dan mengajak kita bersama untuk berdoa supaya presiden yang baru membawa lebih banyak kebaikan. Lalu, seperti kebiasaan saya, saya melihat komentar orang-orang yang ada di sana. Ada yang setuju dengan status halaman, ada yang menghujat presiden yang baru, ada pula yang menghujat presiden yang lama.
Dari sekian banyak komentar, satu menjadi perhatian bagi saya. Dari dulu saya sudah memikirkan hal ini. Dalam status tersebut komentator mengatakan kalau dia adalah wong cilik. Saat menyebutkan itu, dia mengatakan kalau presiden yang lama tidak ada gunanya. Tidak membawa manfaat bagi dirinya dan tidak menguntungkan dirinya. Dia mengatakan itu untuk dirinya. Bukan untuk kebersamaan.
Wong cilik adalah istilah bahasa Jawa, bahasa dari orang Jawa, Indonesia yang berarti orang kecil. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kelas sosial dalam masyarakat tradisional Jawa yang sama dengan "rakyat jelata" dalam masyarakat feodal. Istilah seberangnya adalah priyayi, yang merupakan kelas elit aristokrat atau bangsawan. Istilah ini masih sering digunakan dalam berbagai media, baik cetak maupun televisi bahkan setelah selesainya masa feodal di Indonesia.
Pengertian di atas saya ambil dari halaman Wikipedia Indonesia. Di sana tertera bahwa wong cilik berarti orang kecil yang sama dengan rakyat jelata. Penggunaan istilah tersebut adalah pada masa feodal yaitu masa yang masih ada kelas-kelas sosial semisal bangsawan. Wong cilik sudah jelas adalah sebuah kelas yang cukup rendah. Mungkin hanya sedikit di atas budak. Entahlah, saya juga kurang tahu bagaimana susunan kelas sosial pada saat itu.
Anehnya, zaman sekarang masih saja ada rakyat Indonesia yang mengatakan dengan bangganya kalau dia adalah wong cilik. Kalau memang ada wong cilik, mana bangsawannya? Kalau ada bangsawan berarti akan ada sebuah kerajaan yang berkuasa. Kalau ternyata mereka yang mengatakan itu hidup pada wilayah kerajaan yang memakai sistem kelas sosial dan tidak berdarah biru, wajarlah mereka mengatakan kalau mereka itu wong cilik.
Menurut saya, ini adalah sebuah kebobrokan mental yang masih tersisa pada rakyat Indonesia. Sistem pemerintahan yang sekarang tidak lagi memisahkan kelas-kelas sosial di dalam masyarakatnya, lalu kenapa masih ada yang merendahkan dirinya daripada yang lain? Apakah merasa lebih senang kalau disebut orang rendahan? Atau bagaimana? Menurut saya, ini tak lebih dari sebuah keluhan yang berdasar dari ketidakpuasan terhadap sesuatu yang utamanya adalah ketidaksanggupan dan kelemahan dari diri sendiri.
Jika ada yang bertanya, apa salah kalau mengaku miskin? Apa salah mengakui kelemahan pada diri sendiri? Jawabannya adalah tidak. Tidak salah sama sekali. Mengakui sesuatu itu adalah penting. Dengan mengakuinya, kita bisa tahu di mana kekurangan kita, tapi yang salah adalah pengakuan itu dilakukan atas dasar sebuah keluhan dan berharap orang lain yang memperbaiki semua kesialan pada kita. Jika mengakuinya dan kemudian berusaha menjadi lebih baik, itu adalah sebuah jalan yang benar.
Saya bodoh, maka saya akan belajar. Saya bodoh, maka biarlah orang lain yang melakukannya. Di antara dua kalimat tadi, manakah menurut anda yang lebih baik? Jawab dengan pengertian masing-masing. Apa pun jawabannya, tidak akan berpengaruh pada kehidupan anda. Semisalnya ada mereka yang ahli di bidang kejiwaan, mungkin bisa memberi contoh yang lebih baik.
Pada akhirnya, sebagai rakyat Indonesia kita harus paham bahwa kita bukan lagi wong cilik. Rakyat biasa, iya. Wong cilik tidak memiliki kesempatan menjadi bangsawan dan status bangsawan tidak bisa pula dihapuskan begitu saja. Berbeda dengan sekarang. Kita semua sama-sama punya hak untuk menjabat di pemerintahan dan status jabatan akan berakhir dalam masa tertentu.
Berbanggalah dengan keadaan yang kita miliki dan jangan pernah untuk merasa puas. Tentu saja, ketidakpuasan yang kita rasakan adalah ketidakpuasan bahwa sebenarnya kita bisa menjadi lebih baik sekarang. Berbangga bukan berarti berhenti dan merendahkan orang lain, tapi berbangga karena kita bisa menjadi lebih baik. Jangan selalu melihat ke atas, sesekali lihat pulalah apa yang ada di bawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H