Mohon tunggu...
Faik Fauzi
Faik Fauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang mahasiswa semester 6 dengan prodi sejarah di UIN Sunan Gunung Djati Bandunf

Olahraga outdoor menjadi hobi yang menyenangkan bagi ku, tak hanya itu. Faik juga suka berbisnis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Fajar Kemerdekaan di Balik Proklamasi 17 Agustus 1945

3 Juli 2024   19:16 Diperbarui: 3 Juli 2024   19:30 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Fajar Kemerdekaan: Kisah di Balik Proklamasi 17 Agustus 1945"

Pada pagi 17 Agustus 1945, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, terasa berbeda. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun udara pagi yang segar sudah dipenuhi dengan semangat baru. Di rumah sederhana itu, Soekarno dan Hatta sedang bersiap-siap untuk momen bersejarah yang telah lama ditunggu-tunggu.

Soekarno, dengan wajah yang tampak lelah namun penuh tekad, mengenakan baju putih dan peci hitamnya. Hatta, selalu tenang dan cermat, mendampingi dengan setelan rapi. Keduanya tahu bahwa hari ini akan mengubah nasib bangsa. Di luar rumah, rakyat mulai berkumpul, menunggu dengan penuh harap dan antusiasme.

Tepat pukul 10.00, dengan penuh percaya diri, Soekarno berdiri di hadapan mikrofon yang sederhana. Dengan suara lantang, ia memulai pembacaan teks Proklamasi. Setiap kata yang terucap seakan membawa beban berat perjuangan selama bertahun-tahun. Rakyat yang mendengarkan merasakan getaran di hati mereka, menyadari bahwa inilah saatnya mereka merdeka.

"Proklamasi! Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia." Suara Soekarno menggema, diiringi gemuruh sorak-sorai rakyat yang berkumpul. Air mata kebahagiaan membasahi wajah-wajah mereka. Mereka memeluk satu sama lain, merasa bebas untuk pertama kalinya setelah sekian lama dijajah.

Di tengah euforia itu, seorang pemuda bernama Amir berdiri terpaku. Ia baru berusia 20 tahun, namun perjuangan melawan penjajah telah menghabiskan sebagian besar hidupnya. Dengan mata berkaca-kaca, ia menyaksikan bagaimana kata-kata Soekarno membuka lembaran baru sejarah Indonesia. Ia tahu, perjuangannya tidak sia-sia.

Di sisi lain, seorang ibu tua bernama Siti yang telah kehilangan suaminya di medan perang juga berdiri dengan hati bergetar. Dengan tangan yang gemetar, ia mengangkat bendera merah putih buatan sendiri. Tangis bahagia mengiringi setiap kibasan bendera itu, seolah melambangkan pengorbanan yang tidak pernah sia-sia.

Setelah pembacaan Proklamasi selesai, suasana menjadi lebih meriah. Lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang dengan penuh semangat. Rakyat bernyanyi bersama, merayakan kemerdekaan yang telah mereka raih dengan darah dan air mata. Di setiap sudut kota, teriakan "Merdeka!" menggema, menandai lahirnya bangsa yang baru.

Hari itu, 17 Agustus 1945, menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Dari sudut Pegangsaan Timur, semangat kemerdekaan menyebar ke seluruh penjuru negeri. Setiap jiwa yang hadir di sana menyimpan kenangan tak terlupakan tentang peristiwa proklamasi, sebuah momen yang akan dikenang selamanya dalam hati mereka.

Cerita ini menjadi saksi bisu betapa kuatnya tekad dan semangat rakyat Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Mereka sadar bahwa perjuangan belum usai, tetapi dengan Proklamasi sebagai titik awal, mereka siap melangkah maju membangun bangsa yang merdeka, adil, dan makmur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun