Mohon tunggu...
Faijul Sarifuddin
Faijul Sarifuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar Mahasiswa

Saya adalah pribadi yang suka menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Opini: Jejak Fasisme dalam Dinamika Politik Indonesia

5 Januari 2025   16:33 Diperbarui: 5 Januari 2025   16:33 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
music of a people who will not be slaves again. (Alex/pinterest.)

Fasisme di Indonesia memiliki sejarah panjang yang kompleks. Fasisme sendiri adalah sebuah ideologi otoritarian yang sering diasosiasikan dengan Mussolini dan Hitler, mungkin tampak jauh dari konteks Indonesia. Namun, jika kita memeriksa lebih dalam, jejak-jejak fasisme dalam bentuk lokalnya telah lama mengakar dan terus membayangi perjalanan bangsa ini.Fasisme dalam Konteks Sejarah Indonesia

Pada awal abad ke-20, saat Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda, ide-ide nasionalisme yang kuat mulai berkembang. Dalam beberapa kasus, inspirasi nasionalisme ini datang dari ideologi-ideologi yang berkembang di Eropa, termasuk fasisme. Kelompok-kelompok nasionalis radikal mengagumi semangat nasionalisme ekstrem dan kemampuan organisasi negara-negara otoritarian. Namun, Indonesia tidak pernah secara formal mengadopsi fasisme sebagai ideologi negara.

Selepas kemerdekaan, elemen-elemen yang menyerupai fasisme mulai terlihat, terutama dalam pemerintahan Orde Baru. Di bawah Soeharto, pemerintahan bersifat otoriter, dengan kontrol ketat terhadap media, kebebasan berpendapat, dan oposisi politik. Orde Baru memanipulasi konsep Pancasila menjadi alat untuk menekan perbedaan pendapat, sebuah pola yang mengingatkan pada cara rezim fasis menggunakan propaganda nasionalisme sebagai alat kontrol.

Fasisme dalam Era Modern

Meskipun Indonesia saat ini adalah negara demokrasi, sisa-sisa fasisme tetap hidup dalam berbagai bentuk. Salah satu contoh nyata adalah munculnya kelompok-kelompok vigilante dan paramiliter yang sering mengklaim sebagai pembela moral bangsa. Kelompok-kelompok ini menggunakan kekerasan, intoleransi, dan propaganda untuk mendukung agenda mereka, sering kali dengan restu diam-diam dari pihak berwenang.

Selain itu, kecenderungan pemerintah untuk membatasi ruang publik melalui UU ITE, pengawasan terhadap aktivis, dan represi terhadap protes damai menunjukkan gejala otoritarianisme. Ini adalah pola yang berbahaya, terutama jika kita mengingat bagaimana fasisme tumbuh melalui pengabaian terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.

Menghadapi Ancaman Fasisme

Penting bagi masyarakat Indonesia untuk memahami bahwa fasisme tidak selalu muncul dalam bentuk ideologi formal, tetapi juga melalui praktik-praktik politik yang menekan kebebasan, menyebarkan intoleransi, dan memonopoli kekuasaan. Demokrasi Indonesia membutuhkan penjaga yang waspada, yaitu masyarakat sipil, akademisi, dan media, untuk terus melawan setiap upaya kembalinya otoritarianisme.

Indonesia adalah negara yang beragam dan memiliki sejarah panjang dalam merangkul perbedaan. Nilai-nilai ini harus dijaga sebagai benteng melawan fasisme. Jika tidak, kita mungkin akan terjebak kembali dalam siklus kekerasan, ketidakadilan, dan penindasan yang pernah menghantui bangsa ini.

Fasisme, dalam bentuk apapun, adalah ancaman bagi kebebasan dan kemanusiaan. Untuk melawannya, kita harus terus menghidupkan dialog, memperkuat demokrasi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun