Mungkin tidak semua dari kalian familiar dengan gambar diatas, karena memang sudah jarang lesung digunakan. Betul, nama alat tersebut adalah lesung atau orang Sunda biasa mengenal dengan sebutan "lisung". Tumbuh besar di Jawa Barat tidak menjamin bahwa saya mengetahui segala isi di Jawa Barat. Maka dari itu, saya berkunjung ke Museum Sri Baduga di Bandung, disana terdapat banyak sekali barang-barang antik sejarah. Saya melihat berbagai batu, baju adat, alat musik, kendaraan zaman dulu, termasuk juga lesung.Â
zaman dulu, masyarakat masih menggunakan lesung untuk menumbuk padi. Diperlukan gotong royong saat menumbuk padi di dalam lesung. Sebelum lanjut ke cara penggunaan lesung, mari simak sejarah dari lesung itu sendiri.
Di Indonesia biasanya terdapat tiga alat penggilingan tradisional  yaitu  lesung, lumpang, dan cobek. Cobek dikenal sebagai wadah pembuatan aneka sambal. Lumpang ini juga cocok untuk menghancurkan bumbu (serta bumbu masak dan rempah). Sedangkan lesung dan lumpang lebih banyak digunakan untuk bahan yang keras dan dalam jumlah yang lebih banyak, seperti beras, kopi, dan gaplek (ketela  yang  dikeringkan).
Lesung merupakan wadah  yang terbuat dari kayu berbentuk persegi panjang untuk menggiling beras. Bagian tengahnya diperdalam sehingga menjadi penyangga seperti parit. Beberapa ujungnya berlubang dengan diameter sekitar 20 cm dan yang lainnya tidak. Demikian pula, ujung pucuk ada yang melengkung, disebut melingkar, dan ada pula yang halus. Lesung selalu dipadukan dengan halu (jalur matahari) atau alu. Panjangnya bervariasi tergantung pada panjang dan ukuran kayu pembuatnya. Dalam peribahasa Indonesia kita mengenal ungkapan lesung pipit yang artinya pipi bengkak.Â
Lesung berhubungan dengan tradisi masyarakat desa yang sering dikaitkan dengan berbagai ritual kehidupan seperti khitanan, perkawinan, gusaran, panen dll. Pada zaman dulu,  selain fungsinya yang praktis sebagai wadah untuk menggiling padi, lesung juga memberi isyarat kepada seseorang untuk merayakannya dengan suara benturan. Suara keras pukulan lesung disebut tungulan. Namun lesung yang digunakan berukuran kecil. Sedangkan, lesung besar biasanya digunakan untuk menggiling padi dengan cara bekerja sama, dan lesung kecil hanya digunakan untuk menggiling hasil panen sekunder dan digunakan oleh satu orang. Padi yang ditumbuk adalah padi yang sudah panen, setelah di tumbuk padi akan menghasilkan beras yang kita makan untuk sehari-hari. Ada dua  alat berbeda yang digunakan dalam proses penghancuran lesung, yakni lulumpang dan halu-halu. Lulumpang terbuat dari kayu yang hampir berbentuk  perahu, sedangkan halu-halu terbuat dari kayu berbentuk tongkat. Beras atau gabah sekunder yang akan digiling disimpan di lulumpango lalu digiling dengan halu-halu. Operasi penghancuran lesung mempunyai ciri khas, seperti mengeluarkan bunyi pada proses penghancuran lesung dengan bunyi yang khusus. Selain itu juga merupakan falsafah gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Namun kini tradisi memukul lesung hanya tinggal kenangan dan menjadi hal  unik yang kerap dihadirkan dalam rangkaian acara berbahasa Sunda.Â
Seiring dengan berjalannya zaman dan waktu, lesung sudah berganti fungsinya. Saat ini kita sudah masuk di dunia dengan kemajuan teknologi yang sangat baik, hal itu menyebabkan peralihan cara menghaluskan padi. Sekarang ini padi dihaluskan menggunakan mesin giling sekam, hanya memerlukan mesin saja yang artinya tidak menggunakan banyak tenaga dan peran manusia. Walaupun, mungkin di beberapa desa masih ada yang menggunakan lesung. Tetapi masyarakat lebih memilih menggunakan mesin dikarenakan lebih efisien dan mudah.
Lesung berfungsi menjadi kesenian di Yogyakarta, namanya Gejog Lesung. Dalam Bahasa Jawa, kata "gejog" atau "kothekan" berarti memukul. Sementara kata "lesung" merujuk pada alat pertanian berupa wadah untuk menumbuk padi. Alat musik ini berkembang di beberapa daerah Yogyakarta, di antaranya Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo, dan Sleman. Untuk memainkan Gejog Lesung diperlukan 4-5 orang, tetapi balik lagi tergantung dengan ukuran lesungnya. Cara bermainnya adalah para pemain secara bergantian memukul lesung dengan alu atau antan pada bagian atas, samping, tengah, atau tepat pada bagian cekungan hingga menimbulkan suara "tok tek tok tek" secara berirama dan saling bersahut-sahutan. Tiap posisi lesung entah atas, samping, tengah, dan cekungan itu memiliki bunyi nada yang berbeda. Hal itu yang membuat lesung dapat dimainkan sebagai alat musik tradisional.Â
Ada hal unik yang membuat seni ini semakin menghibur, yaitu seiring irama pukulan dari para penabuh lesung, kelompok lain pun akan menyanyikan lagu atau tembang Jawa bernuansa agraris.Â
Sebenarnya, permainan ini sudah ada sejak petani pada zaman dahulu, tepatnya sebelum menjadi seni pertunjukan musik dalam arti yang seperti saat ini. Pada saat itu, kesenian itu suka digunakan untuk mengisi waktu luang para petani setelah seharian bekerja menumbuk padi di sawah. Gejog lesung juga dilakukan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas melimpahnya hasil panen.Â
Tidak hanya itu, dulu gejog lesung kerap dimainkan saat gerhana tiba. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, konon pada zaman dahulu gerhana bulan dan matahari terjadi karena adanya raksasa bernama Batara Kala yang sedang memakan matahari atau bulan, sehingga menjadikan langit dalam sekejap gelap seketika. Lalu, masyarakat secara beramai-ramai menabuh semua benda, termasuk lesung, agar Batara Kala memuntahkan matahari atau bulan, agar gerhana bisa segera berakhir. Masyarakat juga mempercayai bahwa gejog lesung menjadi media sebagai pengusir raksasa saat gerhana tiba.