Tersenyumlah, maka setengah dari beban hidupmu akan reda. Semangat juangmu untuk hidup akan kembali membara.
Di sebuah sudut pasar tradisional yang ramai, terlihat seorang nenek duduk dengan sekeranjang pisang di depannya. Usianya sudah lebih dari 70 tahun, namun semangatnya tetap membara. Nenek Inah namanya, seorang nenek pedagang pisang yang ramah senyum. Senyumnya tetap terpancar di tengah hiruk-pikuk pasar, menambah kesan teduh di wajah tuanya yang keriput. Namun, tak banyak orang yang tahu, bahwa terdapat kisah hidup penuh perjuangan di balik senyum teduh itu.
Nenek Inah sudah lama menekuni pekerjaannya sebagai seorang pedagang. Sebelumnya, Nenek Inah adalah seorang pedagang tape singkong yang lumayan dikenal karena tape singkong buatannya yang lezat. Mulai dari mengupas kulit singkong, mencuci, merebus, hingga memberikan ragi, Nenek Inah melakukan semua itu dibantu dengan anak dan cucunya. Namun, setelah lama menjalankan usaha tersebut, akhirnya Nenek Inah berhenti karena tenaganya yang tak setangguh dulu lagi. Senyum yang sering dilontarkannya tak bisa menutupi kekuatan fisiknya yang mulai terkikis usia.
Walaupun tak lagi membuat dan menjual tape singkong, jiwa dagang Nenek Inah tak pernah padam. Berkat pengalaman dagang bertahun-tahun yang dimilikinya, Nenek Inah menemukan sebuah peluang usaha dengan cepat. Ya, disinilah awal mula kisah Nenek Inah sebagai seorang pedagang pisang dimulai. Pisang-pisang yang dijual Nenek Inah dibeli dari para petani, karena Nenek Inah tidak mempunyai kebun pisangnya sendiri.
Setiap hari, Nenek Inah selalu bangun jam 3 pagi untuk melaksanakan sholat tahajud. Setelah selesai menunaikan ibadah, barulah Nenek Inah memulai harinya sebagai pedagang. Dengan menggendong sebuah keranjang berisi pisang-pisang segar, Nenek Inah bersiap menuju pasar tradisional dengan anak sulungnya. Jarak dari rumah Nenek Inah menuju pasar bisa dibilang cukup dekat. Namun, karena faktor usia yang mengikis fisiknya, Nenek Inah selalu diantar dan ditemani anak sulungnya di pasar. Fisik yang sudah tak setangguh dulu, tak membuat Nenek Inah gentar. Bagi Nenek Inah, perjalanan itu sudah menjadi bagian dari hidupnya, dan setiap langkah adalah bagian dari usahanya untuk mencari nafkah.
“Selama badan ini masih bisa bergerak, ya saya akan terus jualan. Saya malah senang, tiap hari di pasar ketemu dan ngobrol dengan banyak orang,” ujar Nenek Inah sambil tersenyum, ketika ditanya apakah tidak merasa lelah dengan rutinitas setiap hari yang dilakukannya. “Kalau saya disuruh berhenti dan diam di rumah, saya malah capek dan bingung mau ngapain.”
Pasar bukan sekadar tempat berdagang bagi Nenek Inah. Di sana, ia telah membangun hubungan dengan para pembeli dan pedagang lain. Nenek Inah memang sudah terkenal dengan keceriaan dan keramahannya. Baik dengan pelanggan maupun pembeli baru, Nenek Inah selalu menyapanya dengan ramah sambil berbincang-bincang sebentar. Nenek Inah juga dikenal sebagai orang yang legowo. Ia tak pernah mematok harga tinggi untuk dagangannya, walaupun dagangannya berasal dari petani dan pedagang lain. Nenek Inah hanya mengambil sedikit untung dari dagangannya. Namun, dengan keuntungan yang sedikit itu, masih saja ada pedagang lain yang berhutang kepada Nenek Inah. Beruntungnya hutangnya tetap dibayarkan kembali tanpa drama, walaupun masih ada yang pura-pura atau bahkan memang lupa bahwa dirinya berhutang.
Namun, di balik senyum dan keramahan itu, tersimpan kesedihan yang tak pernah diceritakan kepada orang lain. Nenek Inah memendam kesedihan itu sendiri, walaupun ia memiliki anak dan cucu yang sangat menyayangi dan menjaganya. Sudah lebih dari 10 tahun sejak suaminya meninggal, meninggalkan Nenek Inah untuk berjuang seorang diri mewujudkan impian mereka. Nenek Inah dan alm. Suaminya memiliki impian untuk menunaikan haji bersama, namun kini tinggal Nenek Inah seorang diri yang mengejar impian tersebut. Sudah lama Nenek Inah mengumpulkan uang hasil jualan untuk disetorkan ke biro haji. Keriput di wajahnya menjadi saksi atas setiap perjuangan yang telah dilauinya. kini Nenek Inah tinggal menunggu giliran untuk menunaikan haji.
Gambar Ka’bah besar terpampang jelas di dinding rumahnya, menunjukkan seberapa besar tekad Nenek Inah. Tak ingin terlewatkan, setiap tahun haji, Nenek Inah selalu menyalakan televisi untuk menyaksikan siaran haji. ‘Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik…’ kalimat yang diucapkan Nenek Inah, mengikuti kegiatan haji yang disiarkan televisi.
Meski begitu, Nenek Inah merasa bahagia dengan apa yang ia miliki. Baginya, pekerjaan ini adalah bentuk rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. “Selama saya masih bisa bekerja, saya tidak mau merepotkan orang lain,” ujar Nenek Inah. Di usianya yang senja, Nenek Inah telah membuktikan bahwa semangat hidup tak mengenal batas usia. Senyum yang ia pancarkan setiap hari di pasar bukan hanya sekadar sapaan kepada pembeli, melainkan cerminan dari keteguhan hati dan kebahagiaan yang ia temukan dalam setiap hal kecil yang ia lakukan.
Di balik keranjang pisangnya yang sederhana, tersimpan banyak pelajaran berharga tentang kehidupan. Nenek Inah mengajarkan bahwa dalam kesederhanaan, kita bisa menemukan kebahagiaan sejati, dan bahwa semangat hidup yang tak pernah padam adalah kunci untuk menjalani hari-hari dengan penuh makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H