Di samping berbagi kelebihannya itu, saya pikir tidak semua kalangan dapat memahami esai tersebut dengan mudah dikarenakan pembawaan yang cukup berat dan istilah-istilah yang mungkin belum pernah terjamah oleh pembaca. Namun, di sisi lain, kosa kata-kosa kata yang asing dapat menjadi pengetahuan baru bagi pembaca itu sendiri. Seperti yang saya rasakan, saya baru tahu kalau praktik percampuran bahasa Indonesia dan Inggris itu disebut indonenglish. Fenomena tersebut memang terjadi di sekitar saya, tetapi sebelumnya saya tidak tahu namanya. Kemudian saya dibawa berkenalan dengan captive mind dari Syed Huseein Alatas, captive mind sendiri mengarah pada pikiran yang jumud/terkurung, pun lingua franca yang berarti bahasa perantara. Meski ada istilah-istilah yang asing bagi saya, ada pula istilah-istilah yang sebelumnya sudah saya tahu atau dengar, yaitu seperti bilateral (melibatkan dua belah pihak), inferioritas (merasa lebih rendah), dan masif (besar, kuat). Sebagai penutup, menurut saya esai 'Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan' dapat menjadi refleksi kita sebagai bangsa Indonesia. Masih kah kita menjunjung bahasa Indonesia? Sejauh manakah? Mampukah mempertahankannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H