Mohon tunggu...
Faidhil Akbar
Faidhil Akbar Mohon Tunggu... Seniman - Rebahan itu harus, belajar ya apalagi

Tetap hihihaha walau hati huhahuha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Persegi Panjang, Prioritas Manusia

6 Maret 2020   20:52 Diperbarui: 6 Maret 2020   20:54 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"P"

"P"

"P"

"Udah tidur yah?".

"Aku udah nunggu hampir 2 jam, aku kira kamu masih maen game".

"Aku udah pasang alarm banyak, takut aku ketiduran cuman bela-belain buat bisa nelfon sama kamu".

"Aku baru tidur 1 jam kayaknya ini, cuman karena kita udah janji. Tapi kamunya ceklis".

"Yaudah lah, aku juga ngantuk mau tidur lagi".

Trining...trining..trining... Alarm handphone sakti berdering dan waktu menunjukkan pukul 05:30 pagi. Sekali gerakan, sakti mematikan alarm dihanphone nya dan langsung bergegas melihat notifikasi dihandphone yang sudah penuh dengan pesan dari seseorang yang mungkin spesial baginya. 

Dengan perasaan cemas dan khawatir, sakti dengan segera membaca pesan demi pesan dari seorang wanita yang dianggapnya spesial itu dan membalasnya dengan sedikit rasa penyesalan, melontarkan kata demi kata maaf atas apa yang telah dia perbuat dan mungkin telah menyakiti perasaan wanita tersebut.

"Duh, maap nis. Aku semalem ngantuk banget abis maen game itu. Padahal aku udah pasang alarm lebih dari 5 kali, tapi yang aku dengar cuman alarm terakhir jam setengah enam."

"Maafin aku nis. Maap banget".

"Nis".

Memanggil, tettt...tettt..tett...

Tett...tettt...tettt....

Di layar handhpone sakti masih saja tertulis memanggil, bukan berdering. Entah karena anissa sedang mencharge handphonenya atau memang sengaja mematikan data seluler nya akibat kesal dengan sakti, entahlah. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul 06:00 pagi dan sakti belum menunaikan shalat shubuh. Tanpa ada sedikit rasa takut dan cemas terhadap dirinya sendiri.

Sakti meninggalkan kamarnya dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Tidak sampai tiga menit sakti melaksanakan shalatnya, entah apa yang membuatnya tergesa-gesa dalam shalatnya. Karena masuk sekolah pukul 07:20 atau memang ingin menelfon wanita spesialnya tadi. Entahlah, aku tidak tahu.

Ahmad Bustomi Sakti, itulah namanya kerap dipanggil sakti.  Teman kecilku dulu sewaktu di desa dan kini tinggal sendiri di sebuah kost-an di daerah pusat kota. Dia anak seorang saudagar kaya pemilik kafe terbesar di daerahnya. 

Nama sakti ini diambil dari nama terakhir bapaknya, entah dengan maksud agar kelak dapat meneruskan usaha bapaknya atau bukan sampai saat ini aku tak tahu. Yang jelas, seantero sekolahnya tahu bahwa sakti adalah anak seorang saudagar kaya dan tak heran jika banyak wanita dari kelas 1 sampai kelas 3 yang seumuran dengannya mengajak kenalan.

Oiya, 1 bulan yang lalu aku izin kepada orang tua pergi ke kota untuk bertemu dengan temanku yang di kota. Hari minggu pagi, aku berangkat dari desa menggunakan mobil angkutan umum menuju stasiun dan menaiki kereta jurusan Tanah Abang. 

Tidak seperti dulu, seiring berkembangnya zaman semua lebih praktis, lebih mudah dan terbilang tidak membuat manusia lelah berkat hadirnya teknologi yang semakin hari semakin pesat, terutama diabad 21 ini. Mulai dari pemesanan dan pembayaran tiket secara online tanpa harus mengantri lama di depan loket karcis. Saat ini hampir semua manusia termasuk akupun sudah menggunakan dan merasakan manfaat dari berkembangnya teknologi tersebut.

"Pemberhentian terakhir, stasisun tanah abang. Sebelum turun, harap perhatiakan tiket dan barang bawaan anda. Pastikan tidak tertinggal ataupun tertuker di dalam rangkaian kereta, terima kasih".

"Untuk penumpang yang akan turun, agar memperhatikan celah peron".

"Hati-hati pintu akan dibuka".

Aku anak desa yang jarang sekali menaiki kereta KRL sangat antusias mendengarkan informasi demi informasi yang terdapat di setiap kereta akan berhenti.

"Bau, kabau".

Aku merasa ada yang memanggilku dengan sebutan ketika aku kecil dari kejauhan. Ternyata sakti sudah menunggu di dekat pintu keluar.

"Gimana Kabar lo bau?" tanya sakti sambil memelukku tanda persahabatan kita.

"Alhamdulillah gua sehat. Lo gimana dikota? Banyak problem nggak?" tanyaku antusias penasaran dengan kehidupan di ibu kota.

"Alhamdulillah semua aman tentram dan terkendali" jawab sakti santai.

"Ashiaapp" jawabku

Disaat matahari sedang menunjukkan pancaran cahayanya ke seantero kota, kami menuju daerah kemang temapt kost sakti dengan menggunakan mobil Honda Jazz berwarna biru menyala milik sakti. Katanyasih biar kekinian mobilnya dicat warna mencolok. Entahlah, aku tidak tahu banyak tentang itu. Yang jelas aku senang karena bisa duduk didepan sebelah kiri bak pejabat dan bos-bos besar yang sedang diantar ke sebuah tempat oleh sopir pribadinya.

"Ah, aku ini norak sekali yah sampai-sampai berkhayal seperti itu" batinku sambil cengengesan sendiri.

Sesampainya kami di tempat kost-an sakti, aku disambut hangat oleh Muhammad Faris temanku dulu di madrasah diniyyah. Kami berbincang-bincang banyak tentang masa lalu kami, masa kecil kami belum tahu gadget dan belum mengerti mengoperasikannya. Berbeda dengan  anak kecil abad kini yang dibilang kekinian. 

Dari yang berumur 7 tahun keatas hampir sebagian sudah memiliki handpone atau gadget masing-masing. Bahkan, anak kecil berumur 3 tahun pun sudah sering memegang handphone atau gadget orang tuanya. Entah alasannya apa, aku tidak tahu. Karena aku belum menjadi orang tua.

Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 16:00, kita saling bertukar cerita kurang lebih 4 jam membahas masa lalu yang sangat lucu dan benar-benar lucu. 

Disaat yang bersamaan, sakti mengajakku dan juga faris keluar rumah untuk sekedar menghirup udara segar dan melihat indahnya cahaya orange kekuning-kuningan disore hari. Selama perjalanan yang aku tidak tahu akan menuju kemana, aku sangat bingung dan merasa aneh.

"Memang ada udara segar disini? Ada pemandangan sunset disini? pikirku.

Benar saja dugaanku, udara segar dan pemandangan cahaya yang dimaksudnya adalah kafe milik orang tua sakti. Udara segar yang dimaksudnya ialah Air Conditioner(pendingin ruangan) dan cahaya kekuning-kuningannya ialah lampu-lampu kafe yang sengaja didesain mirip dengan keadaan sunset di sore hari. Agar para pengunjungan mendapatkan rasa nyaman dan tenang ketika berada didalam kafe tersebut.

Aku dan faris sangat beruntung, karena kami tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk merasakan beberapa variasi rasa minuman dan makanan yang ada di sini. Kami bebas memilih makanan dan minuman sesuka kami. 

Aku mencicipi espresso base, long black , dan milkshake choco hazelnut. Sedangkan faris mencicipi arabika flores, ristretto, dan milkshake tiramisu. Ketika kami sedang sama-sama menikmati milkshake, tiba-tiba aku terkejut karena ada getaran disamping perutku.

Seketika mataku menjadi segar karena melihat notif pesan dari kekasihku. Dengan banyak alasan aku lontarkan agar dia mengerti dan memaafkanku karena kita sudah berjanji akan berbincang melalui handphone pukul 02:00 dini hari. Namun aku tak tahu, mimpi indah semalam membuatku tidak mendengar banyaknya alarm yang aku pasang.

"Kirain beneran yaelah cuman mimpi" keluhku sambil membalas pesan.

Aku menunggu panggilan masuk atau notif pesan dari kekasihku dan tanpa sadar akupun tertidur kembali dengan posisi menggenggam handphone ditangan belum melaksanakan shalat shubuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun