Proyek IT Tak Teratur? Adaptasi Scrum Solusinya! Â
Agile dan Scrum merupakan metode yang dominan dalam pengembangan perangkat lunak saat ini. Namun, seperti yang dikemukakan dalam artikel oleh Micha Kuciapski dan Bartosz Marcinkowski (2023), metode ini sering kali tidak sepenuhnya cocok untuk proyek yang memiliki struktur tim tidak menentu atau komunikasi yang terputus-putus. Penelitian mereka berfokus pada adaptasi Scrum untuk proyek IT 'ad-hoc', di mana anggota tim sering kali tersebar secara geografis dan berpartisipasi dalam waktu yang tidak teratur. Seperti diketahui, Scrum biasanya mengharuskan tim untuk mengikuti sejumlah aturan yang cukup ketat, seperti Daily Scrum, Sprint yang memiliki durasi tetap, dan komitmen penuh setiap anggota tim terhadap proyek yang sedang berjalan. Namun, pada kenyataannya, banyak proyek IT, terutama yang melibatkan tim lepas atau sukarelawan, tidak dapat sepenuhnya mematuhi aturan tersebut. Data yang ditunjukkan dalam artikel mendukung argumen bahwa adaptasi sangat diperlukan, terutama ketika 87% perusahaan menggunakan Scrum untuk pengembangan perangkat lunak mereka (Cram, 2019).
Kuciapski dan Marcinkowski melihat bahwa dalam proyek 'ad-hoc', anggota tim sering kali memiliki waktu terbatas untuk berkontribusi pada proyek. Oleh karena itu, penelitian mereka memvalidasi solusi praktis seperti mengubah Daily Scrum menjadi pertemuan mingguan, memperpanjang durasi Sprint, serta fleksibilitas dalam penugasan anggota tim. Penelitian ini menarik karena mencoba menjawab pertanyaan utama: dapatkah Scrum diadaptasi untuk proyek 'ad-hoc' tanpa mengorbankan esensi dari pendekatan Agile itu sendiri? Artikel ini tidak hanya relevan untuk proyek akademik, tetapi juga bagi organisasi komersial yang bergantung pada tenaga ahli eksternal atau tim dengan komitmen parsial.
****
Salah satu kontribusi paling penting dari artikel ini adalah bagaimana Scrum dapat diadaptasi untuk menangani proyek 'ad-hoc' dengan struktur tim yang tidak teratur. Berdasarkan studi yang dilakukan Kuciapski dan Marcinkowski (2023), modifikasi penting pada kerangka kerja Scrum termasuk mengubah Daily Scrum menjadi Weekly Scrum, memperpanjang durasi Sprint, dan memungkinkan rotasi anggota tim selama Sprint. Dalam proyek IT yang diobservasi oleh penulis, tim terdiri dari mahasiswa dan profesional yang bekerja secara paruh waktu dengan tingkat ketersediaan yang berfluktuasi. Dalam konteks ini, Scrum versi tradisional, dengan pertemuan harian yang diharuskan dan Sprint yang memiliki durasi tetap, menjadi hambatan. Studi menunjukkan bahwa 94% komunikasi proyek dilakukan melalui konferensi video, dan kehadiran harian seluruh anggota tim sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu, adaptasi Weekly Scrum memberikan fleksibilitas yang diperlukan tanpa mengorbankan pengawasan proyek.
Penelitian ini juga menemukan bahwa, dalam proyek 'ad-hoc', 57 jam kontribusi per bulan dari anggota tim merupakan jumlah rata-rata waktu yang dapat mereka curahkan untuk proyek akademik yang diteliti. Data ini penting karena menunjukkan bahwa dalam proyek-proyek seperti ini, mengharapkan anggota tim untuk berkontribusi secara penuh waktu bukanlah hal yang realistis. Oleh karena itu, dengan memperpanjang durasi Sprint hingga 10 minggu, tim dapat tetap mempertahankan laju perkembangan proyek tanpa harus membatalkan Sprint yang sedang berlangsung dan memulai dari awal. Ini terbukti sangat penting di lingkungan komersial, di mana proyek besar, seperti aplikasi pemantauan infrastruktur pada perusahaan listrik yang melibatkan lebih dari 14 pengembang, tetap dapat berjalan meskipun anggota tim berpartisipasi secara ad-hoc.
Fleksibilitas dalam manajemen backlog juga merupakan salah satu inovasi kunci yang diusulkan. Dalam Scrum yang dimodifikasi ini, dua anggota tim bertanggung jawab atas satu item backlog untuk memastikan bahwa jika salah satu anggota tidak dapat melanjutkan pekerjaan, yang lainnya dapat mengambil alih tanpa menghambat kemajuan Sprint. Ini berbeda dengan Scrum tradisional yang menekankan tanggung jawab individu, dan inovasi ini relevan mengingat seringnya rotasi tim dalam proyek 'ad-hoc'. Kuciapski dan Marcinkowski juga mencatat bahwa dalam kasus kegagalan sprint, tim diberi opsi untuk memperpanjang sprint atau memindahkan item backlog ke sprint berikutnya, sebuah pendekatan yang memungkinkan proyek tetap berjalan tanpa gangguan besar.
****
Kesimpulan dari artikel ini memperkuat gagasan bahwa Scrum dapat diadaptasi untuk proyek 'ad-hoc' dengan modifikasi yang relevan tanpa kehilangan esensi Agile. Kuciapski dan Marcinkowski (2023) berhasil menunjukkan bahwa, dengan fleksibilitas yang tepat, seperti mengubah durasi Sprint dan mengadopsi Weekly Scrum, tim yang bekerja dengan komitmen parsial atau anggota yang tersebar secara geografis tetap dapat mencapai hasil yang baik. Temuan ini relevan bagi organisasi komersial maupun akademik, terutama yang menghadapi tantangan dalam mengelola tim lepas atau sukarelawan yang memiliki ketersediaan terbatas.
Namun, adaptasi ini tidak tanpa tantangan. Salah satu risiko utama adalah penurunan motivasi tim akibat adanya fleksibilitas yang terlalu besar dalam durasi Sprint dan rotasi tim. Oleh karena itu, penting untuk memiliki Scrum Master yang kuat dan berperan sebagai motivator untuk menjaga semangat tim. Secara keseluruhan, solusi yang diusulkan dalam penelitian ini menawarkan pendekatan baru dalam pengelolaan proyek TI, terutama bagi organisasi yang bergantung pada tenaga ahli eksternal atau tim dengan struktur yang berfluktuasi. Dalam lingkungan bisnis yang terus berubah, fleksibilitas ini menjadi semakin penting untuk menjaga efisiensi dan ketepatan waktu penyelesaian proyek.
Referensi
Kuciapski, M., & Marcinkowski, B. (2023). Agile software development approach for 'ad-hoc' IT projects. International Journal of Information Systems and Project Management, 11(4), 28-51. https://doi.org/10.12821/ijispm110402