Mohon tunggu...
Fahrutimur
Fahrutimur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sejarah ditulis oleh orang yang tahu menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jadi Cahaya Tersendiri

2 Februari 2024   05:38 Diperbarui: 2 Februari 2024   05:41 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: gambar pribadi

matahari memakan matanya sendiri. lalu tumbuh kembali. gerobak-gerobak menyaksikannya. kuda-kuda berlarian di sepanjang mimpi.  takut dimakan matahari. ketakutan adalah rasa gerah. melihat itu, matahari tertawa sebentar lalu memakan kepalanya sendiri. lalu tumbuh lagi. mimpi-mimpi beradu nasib di altar masjid. di ruang-ruang kota, kecoak-kecoak menamakan diri mereka tak sendiri. manusia-manusia menamakan mereka pun tak sendiri.


matahari asyik mengunyah otak, hingga menjadi pikun. ia tidak tahu apa pun yang ia ketahui. ia tak paham apa pun yang dulu ia banggakan. semakin ia memakan otaknya, semakin ia lupa apa yang ia makan. ia telah lupa bagian-bagian wujudnya. kaki-kakinya tumbuh seperti taman di dalam perut.  dikala setiap hari ayam melarang keluar kandang, manusia-manusia membikin kandangnya sendiri. terkurung. merenungkan matahari. di atas genteng aku terpaksa memakan mataku beberapa kali. agar bisa terpejam. di bawah sana, gerobak-gerobak besi menampung sampah seperti tubuhku menampung hal-hal yang negatif. kecoak-kecoak menjadi berkaki seribu. semut kencing berdiri. tak bisa dilogika. logika tidak punya tempat untuk ambil bagian, di dalam sini. karena aku telah berlarian di alam mimpi. begitu abstrak untuk dimengerti. kecepatan maksimum menembus tulang kepala. aku memakan ingatanku sendiri. (bagaimana cara berbahagia paling netral tanpa ada kepura-puraan?). matahari memakan tubuhnya di detik kemudian. lalu kembali tumbuh. jika kau mengira aku adalah matahari itu, maka kau salah. aku tidak sepurba matahari. yang kepurbaannya melebihi kepurbaan waktu. aku adalah kebosanan yang mengkafirkan pergerakan yang berdedikasi. setiap bagian tubuhku terbentuk dari rasa ingin, untuk keluar dari lautan hutan. aku jadi kegelapan yang tidur dalam frekuensi pling-plang. matahari sedang doyan memakan matanya sendiri hingga air mata terbentuk lalu  berkunjung ke bumi. oleh manusia memberi nama: hujan. kodok-kodok bernyanyi lagu Indonesia. burung-burung berselimutkan mantel hujan. ikan-ikan dihilangkan kegaduhan air. aku menamakan gelombang udara sebagai selimut kematian. karena gelombang tak bisa menamakan dirinya sendiri. manusia-manusia menamakan mereka lagi. begitu pun dengan biru laut dan langit. dan semua taman di perut matahari telah penuh bunga-bunga merah kuning tanpa hijau. yang tergabung membentuk warna yang lain. tak seperti omong sombong seorang bintang. dan bulan bukan yang terindah. bintang bukan yang terjauh. aku bukan yang sendiri. bayangan-bayangan meniru gerakan. mengikuti cahaya mengikuti objek. hujan-hujan menjadi cahaya. aku menamakannya sendiri. kau diberi nama manusia lain. sepenggal cahaya berpindah ke jalanmu, lalu menetap di matamu, melahirkan cahaya yang lain. cahaya itu pernah menatap mantap ke arahku. keistimewaan tersendiri. jadi bagian yang lain selain cahaya duniawi. aku belum bisa berhenti memakan ingatanku sendiri. kegelapan berhenti sejenak. bau hujan menjilati cahaya lampu yang hening di pinggir jalan seperti anak kecil menjilati ice cream. beramai-ramai. wujud hujan ditarik jadi cahaya. hujan adalah cahaya yang lain. banjir, salah satu. tetapi aku tak minat cahaya itu. aku jadi overdosis terhadap cahayamu. nona, sebab cahayamu mematikan kuman pemikiranku. hantu-hantu menimbulkan bunyi primitif dari bawah tanah. suara cacing mencincang kebisuan arwah dari alam yang fana. kau berada di alam mana? Aku di alam sini, tanpa nama. di dunia nyata, aku bernama. aku ingin  berhenti mempunyai nama yang tidak diridai dalam tubuh yang hampir seperti mesin. yang terpaksa lembur mencari eksistensi. aku bukanlah yang sendiri. bayangan menjadi aku yang berjalan di bawah cahaya: bagaimana caranya hidup?

matahari tertawa kepada sesuatu yang telah jadi batu di kepalaku. burung kasturi menjatuhkan air luka pada pohon yang terbaring di atas tanah. tak bisa lagi bertumbuh sepanjang jalan mimpi. dalam sekejap, tersulap batu-batu nisan. kuburan-kuburan burung tertata amburadul. melihat itu matahari berhenti tertawa lalu memakan matanya kembali. air mata - hari membikin tanah tidak lagi kering kemarau. seperti beberapa waktu yang lalu. aku berlarian sepanjang mimpi, mencari keteduhan. takut basah. ketakutan adalah dingin. tapi, di mana harus berteduh dikala rumahku sudah tergusur? Ah, bolehkah aku berteduh di matamu? Aku ingin menyatu dengan cahayamu. tolong, biarkan saja burung yang terkubur, impianku jangan. aku sudah capek berlari. tapi tetap dipaksa berlari. cahaya dari jauh sana mendekatiku (atau aku yang mendekati cahaya itu?). sialnya itu bukan cahayamu. itu adalah salah satu cahaya hujan. warnanya agak kecokelatan. padanya, aku terus mendekat. hujan mengikutiku dari belakang dan dari depan aku mengikuti hujan yang tersenyum, bangga menyambut banjir. banjir itu membawa serta yang tersisa dari alam. tak bisa dilogika. karena aku masih berlarian sepanjang mimpi. di atas genteng, aku tidak mau mati di alam mimpi. saat matahari sore lupa menarikku kembali dari sini.

0_o
Makassar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun