Pembacaan terhadap dinamika masyarakat harus memiliki tolok ukur yang kukuh guna memperkuat bacaannya, dan kemudian akan membuahkan hasil yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata, bukan hanya sekedar bacaan dan wacana yang menggenang di dalam benak, sehingga menjadi busuk dan tidak memiliki manfaat sedikitpun bagi orang lain bahkan diri sendiri.
Pembacaan terhadap kondisi dan dinamika yang terjadi, akan lebih tepat hasilnya jika seorang menyelisik langsung dengan menggunakan panca indranya, dalam arti terjun langsung ke lapangan, bukan hanya sekedar duduk di rumah, dengan menjadi seorang kutu buku guna mengetahui dinamika yang sedang terjadi.
Tapi, jangan kita beranggapan, seseorang yang menganalisa suatu kondisi secara langsung, kemudian dia tidak membutuhkan rujukan bacaan yang tertulis Karena seseorang --seperti yang telah disebutkan di atas- jika hendak melakukan pembacaan terhadap dinamika yang sedang terjadi, harus memiliki tolok ukur dan konsep yang tersusun rapi guna menjadi rujukan ketika melakukan suatu pembacaan.Â
Pembacaan Islam gencar dilakukan dewasa ini, tidak lain karena dinamika masyarakat dunia yang terus berubah, tudingan demi tudingan kerap kali ditujukan kepada Islam, dan angan-angan penegakkan sistem al-Khilafah al-Islamiyyah yang terus disuarakan hampir di 30% negara bagian.
Di sini penulis hanya akan mengutip pembacaan-pembacaan para pakar yang mumpuni dan dapat dijadikan rujukan dalam hal pembacaan Islam dan kontribusinya terhadap masyarakat dan dunia, seperti Hassan Hanafi, Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur, dan Sayyid Quthb.
Apakah manusia dapat dipisahkan dengan agama ?
Tidak, karena agama sangat lekat dengan diri manusia. Para pakar berbeda pendapat tentang benih atau asal usul lahirnya agama. Satu yang sangat populer adalah karena dorongan "rasa takut".
Menurut penganut paham ini, manusia pertama menemukan di pentas bumi ini aneka hal yang tidak dia ketahui hakikatnya, sehingga membuatnya takut. Karena itu dia mencari sumber kekuatan yang dapat menghindarkannya dari rasa takut dan menggantinya dengan kedamaian.
Di sanalah ia menemukan/mempercayai wujud kekuatan yang dahsyat, ada banyak nama untuk menyebut kekuatan tersebut, seperti, Sang Pencipta, Penyebab dari segala sebab, Penggerak Pertama, Yang Maha Kudus, Tuhan Yahwe atau Allah.Â
Tapi, yang jelas, Â manusia berusaha mengadakan hubungan dengan mendengarkan tuntunan-tuntunannya, baik yang berkaitan dengan kepercayaan atau hukum manapun yang berkaitan dengan budi pekerti dan sopan santun.
Hubungan yang dimaksud selalu terdapat dalam sebuah agama. Ia tampak dengan jelas melalui shalat atau sembahyang. Karena itu, tidak ada agama yang tidak mewajibkan shalat/sembahyang, walaupun caranya berbeda-beda. (Lihat: Islam yang Saya Anut, Karya: Muhammad Quraish Shihab, Hlm: 37-38, Cet: Lentera Hati. Tangerang. 2018).