Mohon tunggu...
Fahru Ardi
Fahru Ardi Mohon Tunggu... -

seorang pemimpi yang merindukan Indonesia menjadi negara maju, rakyanya cerdas, adil, dan makmur.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ahmadiyah dan Rasionalitas Umat

9 Februari 2011   12:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:45 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Senin sore, seorang kawan datang ke kantor saya. Dia menunjukkan kepada saya salah satu video kekerasan terhadap jamaah ahmadiah di Cikeusik yang diunduhnya dari situs Youtube. Awalnya saya melihat tragedi kekerasan di Indonesia sebagai sesuatu yang biasa saja. Toh, dari tahun ke tahun, kita sudah terbiasa menyaksikan dan mendengar kabar kekerasan yang merebak di mana-mana. Tapi keyakinan saya berubah setelah menyaksikan secara langsung video kekerasan terhadap warga Ahmadiyah yang ditunjukkan kawan saya.

Menyaksikan video itu, bulu kuduk saya merinding, betapa ngerinya melihat secara langsung seorang tak berdaya ditelanjangi, dipukuli dengan kayu, dilempari batu bertubi-tubi, tanpa ada perlawanan. Ironisnya, ada tiga orang polisi yang terekam video tapi tak berbuat apa-apa untuk mencegah. Mereka menyaksikan –seolah tanpa dosa- penyiksaan terhadap warga negara yang sah dan memiliki hak yang sama di depan hukum itu.

Astagfirullah, kalimat itu berkali-kali terucap spontan dari mulut saya menyaksikan darah yang bercecer di sekitar lokasi kejadian. Sesaat setelah video itu berhenti, saya tertegun, “Orang-orang ini tak pantas mengucap kalimat takbir, kekerasan bukan ajaran Tuhan.” Saya pun mengajak teman-teman kantor untuk menyaksikan video itu. Respon yang sama juga tampak dari mereka. Tidak ada yang bisa menoleransi kekerasan dan kekejian atas nama dan atas dasar apa pun.

Kami pun berdiskusi. Apa yang menyebabkan ribuan orang itu demikian beringas? Mengapa kekerasan seperti ini dibiarkan aparat? Mengapa aparat tidak mampu mengantisipasi kekerasan yang ada di masyarakat? Banyak sekali pertanyaan yang bergelayut di benak kami. Kami memang berbeda. Saya seorang yang lahir dari komunitas muslim tradisional di Jawa Tengah. Teman kantor saya yang lain ada yang berlatarbelakang modernis. Satu lagi seorang tradisionalis yang tercerahkan. Tapi kami sepakat bahwa kekerasan bukanlah solusi.

Kami berpendapat, orang-orang yang bertindak beringas itu tak mungkin ada dan bertindak tanpa ada yang menggerakkan. Pasti ada orang yang menggerakkan dan memberikan pemahaman yang sempit tentang “yang Islam dan bukan Islam”. Secara akidah memang mayoritas umat Islam Indonesia adalah sunni, yang menganggap Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan penutup para nabi sebelumnya. Ahmadiah dianggap bukan Islam, terutama Qodian, karena menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi.

Celakanya, keyakinan tersebut kemudian dibumbui dengan perintah atau bahkan provokasi, bahwa karena Ahmadiyah bukan Islam, dan telah menodai Islam, maka wajib hukumnya membunuh mereka, sebagaimana para khalifah membunuh nabi baru Musailamah al-Kadzab dan lainnya. Pada titik inilah kekerasan itu muncul dan mencapai momentumnya. Mereka alpa, bahwa negeri ini bukanlah negara Islam yang menggunakan hukum Islam sebagai tata hidup bersama. Indonesia adalah negara Pancasila yang menjamin semua agama dan keyakinan warganya.

Maka, tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok umat Islam terhadap Ahmadiyah adalah melanggar dasar negara dan melanggar konstitusi negara kita. Saya tidak ingin membela Ahmadiyah sebagai sebuah keyakinan, saya hanya ingin membela mereka sebagai warga negara yang dijamin kebebasannya untuk beribadah dan mengamalkan ajaran agama dan keyakinan yang mereka miliki.

Negara dan para tokoh agama memang sudah menyepakati SKB tiga menteri, yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Tapi, saya memandang bahwa SKB sendiri adalah bentuk diskriminasi terhadap Ahmadiyah. Dalam negara Pancasila, negara tidak berhak untuk melarang seseorang berkeyakinan dan beragama tertentu dengan sekte tertentu. Demikian juga warga negara tak punya hak untuk membunuh dan memusnahkan keyakinan tertentu. Tugas negara adalah memastikan bahwa semua warga negara mendapatkan haknya dengan baik, melindungi mereka dari kekerasan, dan menjamin keyakinan yang mereka anut.

Sebagai seorang yang mengenyam pendidikan tinggi, seorang yang open minded, dan memahami agama secara baik, saya mengajak teman-teman untuk melihat masalah ini secara objektif. Kalau ada mayoritas yang salah dan kita diam, maka kita juga sama seperti mereka, sama saja menyetujui perbuatan mereka. Tugas kita adalah meluruskan yang salah agar kembali ke rel yang benar, yakni rel Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kita harus menyadarkan umat agar mereka siap hidup berdampingan dengan orang yang berkeyakinan berbeda tanpa mendiskriminasi dan bertindak anarkis.

Sudah saatnya kita hidup dan beragama secara rasional dengan memahami dan mepraktekkan agama secara benar. Umat yang tidak rasional harus kita sadarkan. Sekali lagi kita hidup di negara Pancasila bukan negara Islam. Mari kita hormati tata aturan hidup bersama yang sudah kita pedomani sejak negeri ini merdeka. Semoga umat Islam Indonesia makin rasional dan objektif dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada di sekitarnya. Wallahu a'lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun