A.Biografi
Al-Kindi merupakan filsuf muslim yang lahir di Kufah (sekarang Iran) pada awal abad ke-9 M atau tahun 801 M. Ia lahir pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid dari Dinasti Bani Abbas. Al-Kindi merupakan seorang filsuf yang lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar, dan kaya. Ayah Al-Kindi, Ishaq Bin Shabbah merupakan seseorang gubernur Kufah. Ayahnya menjabat sebagai gubernur Kufah pada masa Khalifah Al-Mahdsi ((775-785 M), Al-Hadi (785-876 M), Harun Ar-Rasyid (786-909 M), serta masa kekuasaan Bani Abbas 750-1258 M). Ayah Al-Kindi sendiri meninggal saat Al-Kindi masih kecil.
B.Karya
Menurut Ibnu Nadhim, Al-Kindi telah menulis banyak karya dan bukti menyatakan jika ia (Al-Kindi) telah merilis 260 judul karya seperti filsafat, logika, dan kosmologi. Bukti menerangkan jika hanya sedikit saja karya Al-Kindi yang sampai kepada orang-orang setelahnya, hal ini diduga karya Al-Kindi hilang semasa Khalifah Al-Mutawakkil.
C.Pemikirannya
Sebelum membahas pemikiran dari Al-Kindi, alangkah baiknya kita mengetahui siapa tokoh yang mempengaruhi pemikirannya. Berdasarkan literatur yang penulis dapatkan dari sumber terpercaya yaitu moraref.kemenag.go.id bahwasanya Al-Kindi menjelaskan jika filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab ia (filsafat) menggunakan akal untuk menjelaskan segala sesuatu. Bukan hanya soal alam ini (kosmologi), namun juga sesuatu yang ultra-abstrak bernama Tuhan.
Kita tidak dapat mengetahui bentuk Tuhan seperti apa karena memang ia tidak berbentuk. Kita mengetahui jika bumi ini diciptakan dari ketiadaan (cretio ex nihilio). Sehingga alam ini merupakan sesuatu yang baru (new). Maka, jika alam ini baru, tentu ada sesuatu yang menciptakan. Bagi Al-Kindi, sesuatu yang menciptakan alam ini disebut Tuhan. Â
Maka untuk membuktikan adanya Tuhan, Al-Kindi menggunakan filsafat dan wahyu. Secara analitik, mustahil bagi kita untuk mengkaji Al-Quran atau kitab suci apapun tanpa bantuan filsafat, sehingga antara Al-Quran atau wahyu dengan filsafat memiliki resultan kohesivitas yang sangat tinggi. Secara metafor, wahyu (dalam hal ini Al-Quran) memiliki ciri kimia seperti air. Mengapa?
Dalam banyak literatur, air sendiri memiliki dua unsur, yang mana masing-masing unsur tersebut memiliki intensitas dan  memiliki perbandingan yang berbeda. Dalam air, kita akan menjumpai unsur bernama Hidrogen dan Oksigen. Hidrogen memiliki nilai 1 dan Oksigen memiliki nilai 8 (Louis Joseph Proust). Namun kita harus melihat dalam dunia empiris, apakah sesama air sulit untuk disatukan? Tentu jawabannya adalah tidak. Sebab penulis pernah mencoba jika antara satu air, dengan air yang lain akan mudah menyatu. Maknanya apa? Ia (wahyu dan filsafat) layaknya dua unsur yang terdapat dalam air yaitu Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Maka, antara keduanya memiliki kohesivitas dengan resultan yang sangat tinggi. Keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Al-Kindi mencoba untuk menjelaskan bukti daripada adanya Tuhan dengan cara sederhana. Dalam percobaannya itu, ia menggunakan teori probabilitas yang ia ciptakan sendiri.
1.Sesuatu yang menjadi sebab dari dirinya, ia mungkin berwujud non-eksistensi, dan esensinya pun berwujud non-eksistensi.
2.Sesuatu mungkin berwujud non-eksistens, sedangkan esensinya eksisten.
3.Sesuatu mungkin berwujud eksisten, sedangkan esensinya non-eksisten.
4.Sesuatu mungkin berwujud eksisten, sedangkan esensinya juga eksisten.
Dari teori percobaannya itu, Al-Kindi melihat semuanya tidak dapat dihukumi salah, namun justru keempat teori tersebut sangat membantu kita untuk memahami adanya Tuhan. Sehingga, kedudukan filsafat mendapat legitimasi dari teori percobaan yang dikemukakan oleh Al-Kindi. Maka, sejalan dengan itu filsafat dan wahyu mendapat posisi yang setara atau dapat dikatakan ekuivalen dan keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme, yang berarti wahyu membutuhkan filsafat, begitupun filsafat membutuhkan wahyu sebagai bentuk afirmasi.